Jual-Beli di Jalur Wagon

Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul empat sore. Seperti hari-hari yang lalu, lalu lintas Jalan Tenaga Utara Blimbing Malang macet. Hal tersebut disebabkan oleh adanya bubaran pekerja pabrik rokok Sampoerna yang terletak di salah satu sisi jalan tersebut. Pasar tumpah yang bertengger di dekat situ pun menjadi sasaran perempuan-perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik rokok.

Pekan di Suatu Senja; Pasar itu disebut dengan Pasar Sampoerna. Namun, itu bukan berarti pasar tersebut milik perusahaan rokok besar itu. Sama sekali bukan! Sebutan Pasar Sampoerna berasal dari letak dari pasar tumpah tersebut yang berada di dekat Pabrik Rokok Sampoerna, lebih tepatnya di pinggiran rel kreta api yang terletak di seberang pabrik rokok itu.

Saya Berbelanja, Maka Saya Ada; Faktor lain yang membuat pasar ini disebut dengan Pasar Sampoerna adalah karena buruh-buruh pabrik rokok yang mayoritas perempuan tersebut selalu berbelanja di pasar tersebut selepas bekerja. Industrialisasi menyeret perempuan untuk bekerja di pabrik. Namun, kewajiban mereka sebagai ibu rumah tangga masih harus mereka tanggung. Jadwal kerja pabrik yang ketat, tidak memungkinkan mereka untuk pergi ke pasar tradisional yang buka di pagi hari. Harga barang di Pasar Swalayan yang buka hingga malam terlalu tinggi untuk upah mereka. Pasar tumpah ini lah yang kemudian menjadi alternatif mereka untuk memenuhi kebutuhan berbelanja.

Sang Kencana pun Tiba; Terdengar bunyi sirine dari sudut jalan. Petugas penjaga palang pintu kereta api memberi aba-aba untuk segera mengosongkan rel kereta api. Keasyikan berbelanja pun terhenti sejenak. Kereta api melaju angkuh. Beberapa helai daun sayuran bertebangan menyibak wajahku. “Belum pernah ada kejadian yang ketabrak kereta, soalnya ini lapaknya juga sudah disesuaikan jaraknya. Kalau mau ada kereta lewat pembeli sudah tertib sendiri,” kata ibu-ibu penjual sayur, ketika aku bertanya sambil membeli kangkung.

Bernafas Sejenak di Car Free Day

Masalah lingkungan dan isu-isu global warming kini telah menjadi perhatian dunia. Kampanye-kampanye untuk melindungi kelestarian bumi pun digalakan. Salah satunya adalah dengan program Car Free Day, yaitu dengan menutup jalan tertentu yang (biasanya) berada di jantung kota selama beberapa jam dari kendaraan bermotor sehingga pejalan kaki dan kendaraan tak bermotor dapat leluasa menggunakan jalan. Car Free Day di Indonesia sudah terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Pada tanggal 18 Desember 2011, giliran kota Malang yang me-launching program Car Free Day di areal Ijen. Benarkah program lingkungan ini benar-benar ampuh menjaga kelestarian lingkungan?

Ketika Oksigen Dirindukan; Antusiasme ditunjukkan masyarakat dengan memadati areal Car Free Day. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk berolah raga dengan sepeda, sepatu roda, skate board, atau pun hanya dengan berjalan kaki.

Untungnya Bukan ‘Motorbike Free Day’;  Beberapa kendaraan bermotor seperti sepeda motor masih melintas di areal Car Free Day. Memang nama acaranya adalah Car Free Day bukan Motorbike Free Day, tapi misi yang diusung dari kegiatan ini adalah bebas polusi dari kendaraan bermotor.

Pergantian Polusi; Untuk sesaat polusi asap bermotor hilang, namun tergantikan dengan polusi klasik, yaitu sampah-sampah plastik. Selain kurangnya kesadaran masyarakat yang datang di Car Free Day untuk tidak membuang sampah sembarangan, di areal acara ini tidak disediakan tempat sampah.

Mencurah Asak; Masyarakat memang menikmati areal Car Free Day yang tanpa asap kendaraan. Namun, sebagian besar dari mereka datang ke areal tersebut dengan menggunakan kendaraan bermotor mereka. Kendaraan bermotor mereka diparkir sekitar areal Car Free Day, sehingga terjadi penumpukan kendaraan di sekitar areal Car Free Day.

Lenggang Lapang

Musik telah ditabuh. Penari yang telah siap dengan kostumnya pun memasuki area pentasnya. Gerak pun dimulai. Lenggang ke kanan ke kiri mengikuti alunan musik yang menghentak atau pun yang mendayu. Seni gerak tubuh yang telah dikenal dengan tari cukup banyak macamnya. Dari berbagai belahan dunia, tiap-tiap negara, bahkan tiap daerah memiliki khas tariannya tersendiri. Seperti karya seni lainnya, tari menampilkan berbagai simbol baik itu untuk mengungkapkan penyambutan, pemujaan, dan perasaan-perasaan tertentu. Kali ini, saya mencoba membagikan tarian-tarian yang pernah terekam dalam kamera saya.


Laskar Teji; Foto ini saya ambil pada tanggal 8 Oktober 2011 pada saat perayaan HUT Kota Batu Jawa Timur. Tarian Kuda Lumping atau Jaran Kepang sangat sering dijumpai di Jawa Timur khususnya daerah Kidulan (Selatan). Tarian ini ditampilkan untuk menyambut tamu kehormatan atau mengucap syukur. Berbagai kisah sejarah, menceritakan tarian ini merupakan bentuk apresiasi masyarakat terhadap tokoh-tokoh perjuangan yang menumpas Belanda dengan berkuda seperti Pangeran Diponegoro, Raden Patah, Sunan Kalijaga, dan Sultan Hamenhkubuwono I.

Satu dalam Harmoni; Keselarasan dalam gerak tampak dalam Tarian Sanduk yang merupakan tarian khas Madura. Kesatuan gerak merupakan hal penting dalam seni tari, apa lagi tari kolosal seperti Tarian Sanduk. Dalam tarian yang membutuhkan penari dalam jumlah banyak ini dapat dilihat bahwa tari merupakan salah satu sarana pergaulan.

Goyang Tarekat; Salah satu tarian khas Timur Tengah, yaitu Tari Tanoura, yang berarti “rok” dalam bahasa Indonesia. Tarian ini dilakukan oleh para sufi di Mesir untuk mendekatkan diri pada ilahi. Caranya, penari melakukan gerakan tarian berputar-putar dengan roknya sehingga menghasilkan kombinasi gerak dan warna yang memukau. Rok lebar yang digunakan sang penari, berwarna-warni.  Warna tersebut melambangkan salah satu tarekat sufi.

Menari di Tirta Amerta; Tarian untuk pemujaan sering dijumpai dalam upacara-upacara tradisi atau keagamaan. Seperti pada upacara Melasti yang dilakukan umat Hindu, sebelum melakukan pembersihan ke sumber mata air suci, terlebih dahulu dipersembahkan tarian sebagai rangkaian upacara.