Tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menginjakkan kaki di Tanah Suci. Sebagai ‘cah kekinian’, mungkin menjelajah kota-kota di Eropa lebih sexy dibanding ke Arab Saudi yang identik dengan ‘jika sudah tua saja’. Namun, tantangan lain maenad saya untuk ziarah ke negeri 1001 malam tersebut. Perjalanan ini, saya lakukan akhir Januari 2014 lalu bersama keluarga.
Berangkat dari Bandara Soekarno Hatta dini hari dengan pesawat Emirates Airlines, saya tiba di Jedah pada siang menjelang sore hari keesokan harinya setelah sebelumnya transit di Dubai, Uni Emirat Arab. Memasuki tanah Arab Saudi, saya sudah harus menutup kepala dengan jilbab dan dekat-dekat dengan Bapak (atau suami bagi yang sudah menikah), ini khusus untuk perempuan di bawah empat puluh tahun. Meskipun kota Jedah ini lebih terbuka dan bukan termasuk tanah haraam, di sini non-muslim masih bisa berkunjung, tapi jangan sekali-kali membawa minuman beralkohol atau Anda akan berurusan dengan petugas keamanan bandara. Setelah sedikit melepas lelah, saya pun melanjutkan perjalan ke Madinah dengan menggunakan bus.
Suatu Taman di antara Taman-taman Surga
Kurang lebih delapan jam, bus yang saya tumpangi berhenti. Hari sudah larut malam, mungkin menjelang subuh. Saat saya keluar dari bus, hawa dingin langsung menyerang tubuh saya. Tidak seperti lagu Aladin, “malam di Arab, seperti siangnya, panas tak terhingga…” bulan Januari ternyata musim dingin di Arab. Namun, dinginnya malam itu tak seberapa saya hiraukan kala melihat di depan saya terdapat bangunan besar dan megah. Ya itu Masjid Nabawi. Penginapan tempat saya menginap memang berada tepat di hadapan masjid yang dibangun Nabi Muhammad itu. Setelah meletakkan barang, saya pun langsung menuju masjid, penasaran ada apa di dalamnya. Lagi pula, saat itu jam menunjukkan pukul setengah empat, tak lama lagi waktu sholat Subuh.
Ternyata dalamnya memang indah, ornamen khas Timut Tengah menghiasi setiap sudutnya. Tembok-tembok masjid seluas 135.000 m2 berjajar Al-Qur’an yang bisa digunakan jama’ah yang datang. Menjelang waktu sholat subuh, masjid mulai dipenuhi jama’ah. Di luar masjid, tentu di sediakan tempat sholat yang tak kalah nyaman, tapi tak sedikit jama’ah yang ingin sholat di dalam masjid sehingga yang sudah terlebih dahulu di dalam harus tersesal yang baru datang dan ingin sholat di dalam.
Setelah sholat subuh usai, keluar masjid, para pedagang pun berderet memenuhi jalan depan masjid. Kebanyakan dari mereka menjajakan pakaian wanita bergaya Arab. “Sepuluh real tiga… sepuluh real tiga,” ucap para pedagang asli Arab ini dengan Bahasa Indonesia. Tak heran jika banyak pedagang Arab yang jago berbahasa Indonesia, hampir setiap hari ada saja orang Indonesia yang datang dan umumnya jemaah yang hobi belanja berasal dari Indonesia. Sekitar Masjid Nabawi ini memang penuh dengan tempat berjualan, baik di toko maupun yang hanya menggelar barang dagangannya di jalan.
Siang hari, saya berkunjung ke Raudlah. Sebelum saya berangkat ke Tanah Suci, banyak orang-orang yang menitip doa untuk didoakan di tempat ini. Saya kira, kenapa harus di sini, kenapa tidak berdoa saja di rumah masing-masing. Ternyata, Raudlah yang artinya taman surga diyakini jika berdoa di tempat ini akan dikabulkan Sang Pencipta. Benar saja, banyak yang berebut untuk masuk ke tempat ini, berdesak-desakan bahkan saling dorong agar bisa sampai ke tempat tersebut.
Setelah berdesak-desakan di Raudlah, saya menyempatkan diri mampir di KFC yang terdapat di depan Masjid Nabawi. Tempat ini lah andalan saya ketika sudah bosan makan kambing.
Cahaya untuk Dunia
Setelah beberapa hari di Madinah, akhirnya saya tiba di Makkah. Sebelumnya, saya sempat mampir ke masjid Bir Ali, masjid yang indah ini merupakan tempat mengambil miqot para jamaah haji dan umroh. Kota Mekkah sangat ramai pada saat saya datang. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun tetap saja masih tampak banyak orang yang berlalu lalang. Begitu tiba di Makkah, saya langsung menuju Masjidil Haram, masjid yang menyimpan bangunan suci Ka’bah yang menjadi kiblat seluruh umat muslim di dunia.
Tak sulit untuk menuju Masjidil Haram dari tempat saya menginap. Itu karena tempat saya menginap berada di atas bangunan yang mengitari masjid tersebut, bahkan dari jendela kamar hotel saya sudah bisa melihat bangunan yang dipercaya oleh umat muslim sebagai tempat ibadah kepada Allah yang didirikan pertama kali. Sayang, ketika saya berkunjung ke tempat tersebut, area sekitar Ka’bah sedang direnovasi total. Kabarnya, pembangunan ini baru akan selesai pada tahun 2020. Selama saya berada di Makkah, hampir setiap hari area Ka’bah penuh dengan jemaat yang melakukan tawaf, tak peduli siang dan malam. Sepertinya, dua puluh empat jam penuh area sekitar Ka’bah selalu sibuk. Tak heran jika pernah ada yang memotret dengan satelit, kota Makkah tampak sangat bersinar saat malam hari.
Tak jauh beda dengan Masjid Nabawi, sekitar Masjidil Haram pun dipenuhi pedagang yang menjajakan dagangannya. Bedanya, jika di Masjid Nabawi lebih tampak seperti pasar, sekitar Masjidil Haram telah tertata dengan didirikannya pusat perbelanjaan atau yang umum kita sebut dengan mall. Ya Arab memang terkenal dengan perdagangannya. Mulai barang-barang khas Arab, hingga merek-merek dunia seperti Giordano, Starbuck, Mothercare juga tersedia di sini. Saat waktu sholat, jika area masjid sudah penuh, tak jarang area perbelanjaan ini dijadikan tempat untuk sholat karena letaknya yang bisa dikatakan menyatu dengan halaman masjid.
Di Makkah, saya juga menyempatkan diri mengunjungi Jabal Rahma di Padang Arafah. Ini tempat yang saya tunggu-tunggu untuk dikunjungi. Tempat ini, konon tempat bertemunya Adam dan Hawa. Jika berdoa meminta jodoh di sini, niscaya tak lama akan menemukan jodohnya. Tak heran di bebatuan sekitar Jabal Rahma banyak coretan nama-nama pasangan yang mungkin berharap menjadi pasangan selamanya. Saya sudah membawa serentetan daftar nama dari teman-teman, baik yang jomblo maupun yang sudah punya pacar dan berencana menikah dalam waktu dekat. Setelah berdoa dan membacakan daftar nama teman-teman (dan saya sendiri), daftar tersebut saya selipkan di bebatuan yang ada di sana. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat saya masih berstatus lajang.