Paska galau yang tak kunjung reda beberapa waktu lalu, saya mengisinya dengan bantuin Mama cari suara. Tanggal 9 Desember 2015,ujug-ujug ada libur nasional baru dalam rangka pilkada serempak di Indonesia. Kebetulan, Mama saya nyalon jadi bupati Kabupaten Malang. Cukup kaget sih, biasanya Mama nyalon di Rudi Hadisuwarno atau Jhonny Andrean eh sekarang di Kabupaten Malang. Krik!
Saya yang nggak tertarik politik ini sih awalnya cuek-cuek saja. Tetap menjalani hidup sebagai pengangguran bermartabat seperti biasa. Selama tiga bulan, saya melihat Mama saya sibuk banget ke sana ke sini. Bangun jam enam pagi dengan semangat, pulang jam sebelas malam masih tetap semangat. “Ketemu banyak orang, tempatnya jauh di sana… Seru deh! Coba kamu ikut…” ceritanya menggebu selepas pulang blusukan. Lain halnya dengan Papa, beliau nggak kalah sibuknya dengan Mama cuma bedanya Papa agak ngawur. Lha iya, pagi sampai malam, Papa masih bekerja sebagai walikota. Eh lha kok tengah malam sampai subuh, malah melanjutkan blusukannya Mama. Bukan sekali dua kali, saya mendapati wajah Papa kecapekan dan badannya demam.
Politik apaan sih?
Melihat Mama Papa yang so sweet kompak dan gigih, rasanya egois kalau saya cuma jadi penonton. Sementara saya cuma sibuk ngetrap-ngetrip nggak jelas demi beberapa foto yang akan diposting di instagram dengan harapan menuai banyak like dan komentar. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ikut blusukan bantu Mama cari suara. Bukan hal gampang memang menulusuri setiap bagian Kabupaten Malang yang memiliki tiga puluh tiga kecamatan. Kalau biasanya saya ke daerah Kabupaten Malang buat nonton Arema di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen atau ke pantai-pantai di Sumawe, kali ini saya harus mblusuk untuk menyapa teman-teman di sana. Selain jauh, jalannya pun banyak yang berlobang (meski ada beberapa nampak baru diaspal). Saya merasakan sih bagaimana capeknya Mama dan Papa yang sudah berminggu-minggu.
Suguhan di #MalangAnyar
Tapi, rasa capek itu selalu sirna setiap kali saya datang bertamu dan bertemu teman-teman di Kabupaten Malang. Senyum hangat dan teh yang nasgitel (panas, legi, kentel) selalu disuguhkan pada saya. Belum lagi, saya dipaksa-paksa untuk makan. Meski sudah makan di desa sebelumnya, saya nggak bisa nolak untuk tetap menyantap menu istimewa yang khas: nasi jagung dan kulupan. Lemak nambah nggak peduli deh! Belum lagi mendengarkan cerita mereka yang menarik. Tentang teman-teman Karang Taruna yang hobi jaran kepangan tapi nggak pernah momen untuk tampil. Tentang ibu-ibu yang sambat katanya sekolah gratis tapi kok ya masih ada uang yang harus keluar untuk sekolah anaknya.
Jaran Kepangan
Rupanya segala kehangatan ini yang menjadi kekuatan Mama dan Papa untuk ingin terus melayani. Pada hari pemilihan, Mama gagal mendapatkan suara terbanyak dengan selisih sekitar lima persen dari lawannya yang incumbent. Agak kesel sih, tapi Mama memang orangnya selalu legowo, “semua sudah jalannya,” katanya yang membuat saya dan tim pemenangan lainnya ikhlas. Bagi saya pribadi, pemilihan umum bukan melulu soal kalah menang. Bertemu orang baru yang kemudian menjadi teman baru dan saling berbagi energi positif jauh lebih berharga dari sekedar kata menang.
Terimakasih untuk pendukung #MalangAnyar, semoga kita masih dapat melanjutkan silahturahmi di kesempatan selanjutnya. Untuk yang menang, selamat ya semoga amanah!
PS: Ditulis tanggal 13 Desember 2015, tepat di hari ulang tahun Mama. Selamat ulang tahun, Ma!
“Nis, aku punya kakak PNS honorer di mBatu. Bisa nggak kamu bilang ke Papamu…”
Bukan sekali dua kali kalimat semacam itu mampir di telinga saya. Kalimat-kalimat yang membuat saya ingin nyelem ke dasar samudra. Sejak Papa terpilih sebagai walikota Batu tahun 2007 lalu, hidup saya sebagai remaja slengekan pun sedikit berubah. Mungkin beberapa dari kalian membayangkan kalau jadi anak pejabat itu menyenangkan: banyak duit, kemana-mana dikawal ajudan ganteng, banyak follower di sosmed, sering jadi bahan gossip, punya pacar seleb. Apa lagi? Enggak semua bayangan tentang enaknya jadi anak pejabat itu bener, walaupun ada yang nggak salah sih. Yang pasti, kadang saya suka iri sama temen-temen saya yang lain.
Hidup memang wang sinawang, rumput futsalan tetangga selalu nampak lebih hijau dari pada rumput sendiri. Yang saya rasakan, jadi anak walikota itu membuat hak saya sebagai anak berkurang. Ini karena waktu papa saya direnggut oleh publik, waktu beliau sebagai ayah berkurang karena harus melayani masyarakat. Saya ingat ketika masih kuliah di Jogja. Empat tahun kuliah, Papa paling hanya berkunjung tiga kali: hari pertama masuk, waktu saya pentas wayang, dan waktu wisuda. Belum lagi berbagai kepentingan politik dan bisnis disekitarnya, karena bagaimana pun di Indonesia, walikota adalah jabatan politik. Padahal saya tidak tertarik dengan urusan politik.
Nampaknya belum cukup bagi politik mengambil Papa saya. Eh sekarang Mama saya ikutan berpolitik dengan maju di Pilkada Kabupaten Malang. Kalau nanti Mama saya menang, maka hak saya sebagai anak akan semakin berkurang lagi. Bayangkan, sudah kehilangan waktu Papa, kemudian Mama? Bukankah sebuah penderitaan seorang anak yang berlipat ganda? Lha, kan sekarang udah gede. Dua lima, katanya. Etapi, belum nikah-nikah sih ya hihihi. Masih untung waktu ramai-ramainya pencalonan kemarin, pacar saya (punya tho?) menolak ketika dilamar untuk maju Pilkada. Kalau nggak kan kelar hidup saya, di mana-mana politik. Hih!
Raras, adik saya, yang nggak mau ditinggal Mama kampanye
Bagaimana pun ketika pulang ke rumah, sebagai seorang anak saya selalu ingin punya waktu manja di pelukan Papa dan Mama. Jujur saya sering kecewa, karena ketika pulang ke Malang, saya tidak mempunyai waktu yang cukup dengan Papa dan Mama dikarenakan kesibukan-kesibukan mereka. Saya sering cemburu dengan teman-teman saya yang selalu punya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dengan hangat. Rasanya ingin kembali menjadi anak kecil di mana dulu papa dan mama selalu punya waktu buat saya.
Lima tahun lebih Papa memimpin Kota Batu. Dari situ, saya jadi paham, kalau jadi pemimpin itu nggak gampang dan selalu serba salah. Banyak keputusan-keputusan dilematis yang perlu diambil, ya nggak sedilematis enaknya balikan sama mantan apa nggak sih, tapi pastinya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan kemauan orang banyak itu selalu bermacam-macam, yang satu pinginnya begini yang satu pinginnya begitu. Selama kuliah di Jogja, saya juga banyak bergaul dengan para aktivis dan seniman yang gemar nyinyir di sosial media, apalagi kepada penyelenggara pemerintahan macam papa saya.
Pernah pada suatu kasus, banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) mengkritik Papa saya sebagai walikota Batu karena tidak memenuhi janjinya membikin monumen Munir, pahlawan pejuang HAM, yang memang lahir dan besar di Batu, meskipun banyak masyarakat Batu sendiri yang tidak mengerti siapa Munir itu. Capek juga melihat kritikan-kritikan itu bersliweran di sosial media, bagaimana pun Eddy Rumpoko adalah Papa saya. Kemudian saya tanyakan kepada Papa perihal tersebut, ternyata janji itu dikeluarkan oleh walikota sebelumnya, dan ketika Papa menjabat dan bertemu dengan keluarga almarhum Munir, ternyata mereka tidak setuju dengan monumen tersebut. Huft!
Setelah gegap-gempita kemenangan Jokowi, saya menjadi sadar bahwa masyarakat kita perlu satu kartu lagi selain kartu-kartu ala Jokowi yang sudah dikeluarkan, yaitu “Kartu Indonesia Sabar” untuk menanggulangi harapan yang begitu besar akan perubahan yang lebih baik. Di Indonesia, masalah yang dihadapi seorang pemimpin terlalu kompleks, terlalu banyak hal yang harus dibenahi di tengah kepentingan-kepentingan politik di sekitarnya yang selalu mengganggu, belum lagi mental birokrat di bawahnya yang selama ini banyak yang terbiasa makan gaji buta.
Beberapa tahun lalu ketika Papa saya berusaha mewujudkan impian kota Batu sebagai destinasi wisata unggulan di Jawa Timur, tentu juga menghadapi kendala yang sama. Ide-idenya belum tentu dipahami anak buahnya, kecepatan kerjanya ala pebisnis itu tidak bisa diikuti pejabat birokrasi di bawahnya, dan sudah pasti banyak juga orang yang nyinyir akan cita-cita itu. Memang butuh waktu hingga akhirnya bisa membuktikan impian bahwa pariwisata bisa menjadi ikon penggerak ekonomi unggulan bagi masyarakat di Batu. Di saat bersamaan butuh keteguhan bahwa kemajuan pariwisata tidak membuat pertanian ditinggalkan.
Salam Dua Jari!
Sekarang (lagi-lagi sayangnya) mama saya, Dewanti Rumpoko, maju di Pilkada Kabupaten Malang. Jujur saya sebelumnya tidak begitu kenal dan paham seperti apa Kabupaten Malang itu. Saya hanya pernah bersinggungan dengan masyarakat Kabupaten Malang ketika bergabung dengan teman-teman relawan Jogja untuk membantu pengungsi bencana erupsi Kelud, 2014 lalu. Waktu itu saya memohon kepada teman-teman dari Jogja untuk membantu mengurusi pengungsi dari Kabupaten Malang yang lari ke Batu, yang notabene bukan daerah terdampak langsung akan bencana tersebut. Juga menyisir beberapa daerah di Kabupaten Malang untuk nge-drop bantuan.
Di tengah bencana, teman-teman saya dari Jogja punya pertanyaan menggelitik, “Memang Pemerintah Kabupaten Malang tidak ngurusi para pengungsi, kok pada lari ke Batu?”
Ketika Kelud meletus, Papa sebagai walikota Batu sedang berada di Medan, dan harus menempuh perjalanan darat beberapa hari karena abu vulkanik tidak memungkinkan pesawat terbang. Dibantu teman-teman relawan dari Jogja, Mama dan saya dengan segala keterbatasan bekerja sekuat tenaga untuk mencoba memastikan para pengungsi, yang notabene dari Kabupaten Malang itu, mendapat pelayanan yang semestinya di kota Batu.
Dari gunung ke pantai: kami siap jadi arek kabupaten
Atas nama kemaslahatan dan perubahan “Malang Anyar” yang lebih baik, pada akhirnya saya harus ikhlas mama maju di Pilkada Kabupaten Malang. Semoga dengan jiwa keibuannya yang selama ini begitu nyaman dan hangat saya nikmati, bisa melayani dan ngemong masyarakat, seperti jiwa keibuan yang beliau tunjukan ketika melayani para pengungsi Kelud waktu itu.
Jabatan hanyalah wakaf politik untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Saya ikhlas deh waktu curhat saya sama Mama berkurang atau bahkan ndak ada sama sekali demi Malang yang benar-benar anyar. Saya ikhlas deh nunda nikah lima tahun lagi karena Papa Mama saya masih repot ngurus ini itu! Prek Nis padune ra ono sing dirabi wae…