Seperti pada sore-sore sebelumnya, sore itu aku dan dua saudara sepupuku, Dika dan Arto melakukan ritual nyore kita. Sehabis lari sore di kaki Gunung Panderman, tepat pukul empat lewat dikit di rumah kosong bekas kantor punya papaku di Kota Batu. Di belakang rumah bergaya kolonial itu, ada halaman yang lumayan besar dengan pemandangan hamparan perkebunan sayur plus pegunungan. Di sore hari, kami bisa meliha orang-orang yang sedang main paralayang di Gunung Banyak. Rumah yang berlokasi di Jalan Panglima Sudrirman, Batu itu saat itu menjadi markas mendadak kami.
Di sana, kami yang kini mendadak jadi Arek Batu, sering berdiskusi apa saja sambil menikmati matahari yang mulai berpamitan. Tak jarang embun putih menyapa kami yang sedang tipis-tipis enak. Kami yang baru kemarin sore pegang KTP Batu, masih terbuai dengan udara Kota Batu yang seolah terus-terusan ngajak kelon.

“Ngapain sih, Ka, kok kamu tiba-tiba pindah ke Batu? Bukannya udah enak ya di Jakarta? Mau ngapain juga di Jakarta ada. Kamu juga lebih enak kan kalau ada balap-balap gitu. Aku aja nih yang kemarin seminggu di Malang udah mati gaya, padahal di Malang lho ya yang masih ada bioskop masih ada tempat duduk gemetar alias dugem,” cerocosku membuka obrolan sore itu. Dika memang hobi balap dan kerap menyabet berbagai juara dari situ (memang nggak sengetop Rio Harianto sih tapi nggak kalah ganteng lho coba aja kepoin IGnya @dikachampion).
“Wuih bukan main Mbak Ganis mantan anak gaul Jogja. Yang tiap Rabu gaul di mana tuh?” sahut Arto sedikit membuka earphone yang nangkring di telinganya.
“Nah, justru itu, Nis! Di Jakarta semuanya sudah ada. Nah, kalau yang kamu cari di sini nggak ada, gimana caranya kita bikin ada!” jawab Dika. Aku cuma manggut-manggut padahal bingung.
Matahari sudah benar-benar meninggalkan kami yang masih asyik cerita-cerita, meski sebenarnya topiknya mulai ngelantur. Nah, ketika malam tiba, pemandangan Kota Batu dari markas kami semakin keren. Lampu-lampu kota semakin terlihat, langit dengan gemerlap bintangnya. Duh, pokoknya sudah kayak Meteor Garden lah. Kami pun tak mau kalah keren dengan mencoba mengimbanginya, Arto yang suka betul dengan musik dan lagi belajar DJ memutar lagu-lagu andalan dari laptop yang disambung ke speaker kesayangannya. Dinginnya Kota Batu di malam hari yang setara dengan suhu AC itu berbaur dengan suasana yang hangat.
Aku dan Arto: Mulai anget
Cantiknya Kota Batu kurasa tak jauh berbeda dengan ketika dulu aku kecil. Lahir dan besar di Malang, sebelum Malang penuh dengan berbagai tempat nongkrong dan mall, tempat yang paling asyik buat malam mingguan ya ke Batu. Sewaktu remaja, zaman baru bisa bawa sepeda motor, pasti aku dan teman-teman dan pacar (yang sekarang sudah mantan) kalau weekend ya nongkrongnya di Songgoriti, di Payung lho maksudnya, bukan Gang Macan. Apalagi waktu itu lagi happening novel Dealova yang di latar cerita ada tempat namanya Bukit Bintang. Jadilah, pokoknya kalau mau pacaran yang romantis ya ke Batu biar macam di novel itu. Tapi masa iya sih aku yang sekarang, yang sudah kecampur gaya hidup kekinian weekend-nya nongkrong di Payung kayak dulu, makan indomie, sama jagung, sama minum kopi susu sasetan.
“Coba kalau di sini ada lounge kayak di Bali-bali gitu tapi pemandangannya gini,” gumamku.
“Point tuh!” Dika menimpali.
Siapa yang ngegolin? Bukan, maksud Dika itu adalah sebuah ide brilliant yang niscaya akan membuat hari-hari kita lebih bermanfaat dari pada sekedar ngabisin beras di rumah. Mulanya, aku ragu, memang bakal laku begituan di sini. Kebetulan diskusi itu terjadi di hari Sabtu, di mana jalanan di Kota Batu padat merayap menjurus ke arah macet. Sebutan kota wisata rupanya bukan sekedar embel-embel saja. Hampir sepuluh tahun terakhir pariwisata di Kota Batu terus meningkat. Kalau macet di Jakarta penuh malapetaka, bisa dibilang macet di Kota Batu penuh berkah karena itu berarti banyak pedagang-pedagang dari yang kecil sampai yang besar kecipratan senangnya.
Ada banyak orang dari luar kota yang datang ke Batu untuk berwisata, rasanya rugi besar kalau aku yang sedari kecil hangout di Batu nggak bisa turut menjamu mereka.
Kurang lebih tiga bulan, kami bertiga mempersiapkan tempat di mana orang-orang bisa menikmati gemerlap Kota Batu. Markas kami yang semula hanya bangunan tua yang penuh dengan barang-barang antik, kami sulap menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk sekedar bersantai bersama teman-teman atau melepas lelah dan mengisi perut setelah seharian berekreasi di Kota Batu. Kami sempat bingung memberi nama tempat ini. Dari nama-nama tumbuh-tumbuhan sampai nama binatang, dari bahasa Inggris sampai latin yang kami sendiri nggak ngerti artinya. Akhirnya kami kembali pada istilah lokal yang akrab dengan masa kecil kami dan kami rasa itu cocok menggambarkan keadaan kami saat ini.

Mengingat latar belakang kami yang semuanya masih bau kencur soal mengelola usaha, aku mengusulkan nama Pupuk Bawang. Yang kemudian banyak komentar dari orang luar, kok pupuk bawang nanti nggak berkembang karena dianggap pupuk bawang terus. Pupuk Bawang memang dikenal dengan arti orang yang tidak diperhitungkan dan sekedar ikut-ikutan, tapi menurutku saat ini banyak kok orang yang awalanya nggak diperhitungkan malah jadi sukses. Di samping itu, bawang juga salah satu hasil bumi dari Kota Batu. Emang agak dipaksain sih tapi paling enggak, orang harus tahu kalau Batu bukan cuma penghasil apel tapi banyak juga hasil pertanian dari Kota Batu.
In the end of the story, kami bertiga ingin berbagi surga kecil kami, di mana kami biasa menyambut petang hingga menanti fajar, dengan siapa saja yang ingin merasakan gemerlap Kota Batu. Dengan keramahan, kami siap menghangatkan dinginnya Kota Wisata Batu.