Hasil perhitungan sementara pilkada walikota Batu telah diumumkan. Paselon dengan nomor dua dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan lebih dari empat puluh persen. Dewanti Rumpoko, mamaku, dan wakilinya, Punjul Santoso, berhasil mengalahkan tiga kandidat lainnya dalam gelaran pilkada serentak di Indonesia. Itu berarti, di tahun 2018, mamaku akan menggantikan papaku, Eddy Rumpoko, yang sudah dua periode menjabat sebagai Walikota Batu sampai Desember 2017 nanti. Iya, politik dinasti, tapi aku sedang tidak bermaksud membahas itu, eh nggak tahu juga ya kalau nanti nyerempet. Di sini, aku hanya ingin cerita pengalamanku sebagai ‘pemilih pemula’ dalam pilkada Batu.
Bisa dikatakan dalam perhelatan pilkada Kota Batu, aku adalah pemilih pemula. Bukan karena usiaku yang baru tujuh belas atau baru dapat KTP. Aku sudah pernah tiga, empat, atau lima kali nyoblos: presiden, gubernur, walikota Malang, dan legislatif. Untuk walikota Batu, ini pertama kalinya. Tahun 2007 lalu, saat aku baru punya KTP, papaku menyalonkan diri sebagai walikota Batu. Meski sudah punya hak pilih, sayangnya aku tak bisa ikut memilih karena KTP-ku masih KTP Malang. Sementara di periode selanjutnya, saat aku sudah ber-KTP Kota Batu, gelaran pilkada belum serentak seperti sekarang. Aku yang saat itu bekerja di Jakarta tidak bisa pulang karena tidak ada libur nasional. Praktis tahun ini, aku baru bisa menggunakan hak pilihku untuk menentukan nasib Kota Batu lima tahun ke depan.

Pilkada yang tahun ini serentak jatuh sehari setelah valentine. Dengan sangat terpaksa, aku harus sudah berada di kampung halaman tepat di hari valentine dan mengikhlaskan tidak merayakan hari kasih sayang bersama entah siapa. Di keluargaku, hari coblosan itu keramat, lebih keramat dari pada hari lebaran. Seperti hari-hari coblosan yang lalu, kami sekeluarga (aku, mama, dan papa) melekan, tidak tidur sampai subuh karena mama dan papa pengajian dan sholat tahajud, sedangkan aku menemani sambil ngecek timeline. Kemudian beberapa jam lagi sudah harus bangun untuk mandi, berdandan serapi mungkin, dan pergi ke TPS bersama-sama. Setelah dari TPS pun, kami tidak bisa kembali tidur: ngobrol-ngobrol tentang prediksi sambil melihat hasil perhitungan sementara, kadang-kadang keliling ke TPS lain. Siapa pun yang menjago, itu semua tetap kami lakukan.
Dalam pilkada ini, jujur aku agak grogi saat perjalan ke TPS. Selain karena sebagai pemilih pemula dalam memilih walikota Batu, aku juga grogi karena ini pertama kalinya aku akan nyoblos orang tuaku sendiri yakni mamaku yang saat ini nyalon sebagai walikota. Tahun sebelumnya, mama pernah menyalonkan diri sebagai bupati Malang. Lagi-lagi, aku tidak ikutan nyoblos karena tidak ber-KTP di daerah tersebut. Kenapa begitu? Setiap akan ada coblosan, aku selalu menimbang-nimbang dulu mana yang benar-benar aku pilih dari latar belakang partai pengusung, visi misi, dan semuanya itu. Meski dulu waktu awal-awal bisa nyoblos (tahun 2008), nggak ada calon yang benar-benar pas tapi aku usahakan buat nggak golput. Yeah, walaupun terus banyak nyeselnya. Banyak temen-temen seumuran yang bilang, “halah udah golput aja, nggak suka aku politik-politikan, sama aja juga nggak bakal ngapa-ngapain,”
dan terus aku jawab dengan,
“udah ya nggak usah milih? Nanti kalau cari beer susah, bikin band-band-an izinnya dipersulit atau diskusi film dibubarin jangan protes ya…”
Kembali ke rasa grogi saat akan menyoblos orang tua sendiri. Jangan dikira mentang-mentang mamaku sendiri yang nyalon terus langsung aku pilih. Enggak dong! Agak sulit memang menilai secara obyektif visi misi dari keempat pasang calon wali kota di Batu tahun ini mengingat salah satu calon adalah keluarga sendiri. Apalagi di periode sebelumnya, yang menjabat sebagai walikota juga keluarga yang mana mereka ini pasangan suami istri yang juga orangtua kandungku. Sama seperti kalian, isu politik dinasti juga sempat membuat aku ragu. Konon katanya, politik dinasti ini adalah jalan menuju perilaku korupsi yang mana sangat aku benci karena aku ngefans sama mantan Ketua KPK yang manis itu.
Sebelum termakan oleh mitos politik dinasti itu, aku mencoba mencerahkan pandanganku dengan mencari tahu apa sih motivasi mama ikutan nyalon sebagai walikota Batu. Apakah sekedar menjalankan mandat? Rupanya tidak. Sepengetahuanku, mama sudah aktif di politik sejak simbol dua jari masih milik golkar dan PDI belum perjuangan. Sewaktu SD aku sering nyindir mama dengan lagu Iwan Fals, “untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biaas bersafari, di sana di gedung DPR,” karena memang kala itu mama ngantornya pakai safari dan di gedung DPRD Kota Malang.
Jadi kurasa politik itu memang sudah jadi minat mamaku sejak masih jadi mama muda. Oh iya, mama juga pernah njago walikota Malang dan waktu itu sempat dikabarkan papaku juga njago lewat partai yang berbeda. Tapi, itu bukan berarti mama sebagai istri ngelunjak pada suami ya, memang kita keluarga demokrasi yang nggak saling nyinyir kalau beda aja. Anyway, itu semua meyakinkanku bahwa dalam pilkada Kota Batu ini mama bukan sekedar ikut-ikutan, disuruh, atau apalah itu. Ada visi misi yang ingin dicapai agar Kota Batu semakin berkilau. Perihal kekhawatiran terkait politik dinasti, kurasa bukan hanya karena Ketua KPK yang ganteng saja, aku jadi benci korupsi, tapi juga doktrin dari orangtuaku terutama mama yang mengajarkanku untuk tidal kedonyan.

Di lain sisi, teman-teman yang memiliki hak pilih di Kota Batu pun memiliki kepercayaan yang besar pada mama. Jika tidak, nggak mungkin kan perhitungan cepat beberapa lembaga survey menyatakan kemenangan telak. Jadi sebagai pemilih pemula untuk walikota Batu, aku berdoa semoga pilihanku bermanfaat untuk semuanya. Terakhir, aku ingin menyampaikan terimakasih kepada pemilih di Kota Batu. Bukan karena telah memenangkan mamaku tapi karena telah memilihku kembali menjadi anak walikota Batu yang sudah dua periode ini kuemban.