Jujur saja, Hari Kartini jadi hari yang paling kubenci ketika kecil. Di hari itu, aku harus bangun pagi-pagi untuk didandani dengan sanggul dan kebaya. Demi apa? Demi mirip seperti penampilan Ibu Kartini. Siapa sih Kartini itu kok kita harus memperingati tanggal kelahirannya dengan konde dan kebaya? Pakar fashion busana Jawa kah?
Beranjak remaja, aku berkenalan secara langsung dengan Kartini lewat Surat-surat Kartini yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dari situ aku mulai mengagumi dan mencoba mencari jejak-jejak lain tentang Kartini. Dan juga, mulai mengikuti segala yang dilakukannya: membaca dan curhat melalui tulisan.
Meski demikian, aku masih sering gagal paham setiap melihat rangkaian acara peringatan Hari Kartini. Pada hari itu, di era lini masa, bertebaran foto-foto perempuan dengan kebaya dan sanggul (buat yang nggak jilbaban), diikuti dengan caption “selamat hari Kartini perempuan hebat yang selalu membantuku nyuci, ngepel, masak…” Duh dek! Secara offline, aku juga masih menjumpai lomba masak, lomba busana, dan lomba-lomba lain yang katanya ‘cewek banget’ demi memperingati Hari Kartini.
Lho, Kartini itu pejuang emansipasi yang menuntut kesamaan hak perempuan Jawa biar ndak cuma disuruh masak, macak, manak, aja kan? Kok hari lahirnya malah dirayakan dengan cara kayak gini?
Untungnya, tahun ini ada sedikit pemandangan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Yeah meski nggak masif, sistematis, dan terstruktur, lewat Film Kartini karya Hanung Bramantyo seolah mengajak ibu-ibu milineal untuk merayakan Hari Kartini dengan cara yang baru. Sebagai seorang yang bukan pakar perfilman, aku nggak ingin menilai baik atau fals nya film ini. Hanya senang saja, karena dengan film ini, ada medium yang bisa mengenalkan Kartini secara mendalam dan mudah, agar supaya Kartini ndak hanya sekedar dirayakan dengan ramai-ramai berkonde dan berkebaya. Meskipun cinta tradisi itu juga penting, rasanya sedikit nggak rela aja kalau perjuangan Kartini yang begitu dalam hanya diapresiasi hanya sebatas tampilan.
Kebetulan, aku sudah nonton film ini bersama mama yang kala itu mengajak banyak ibu-ibu lainnya. Senang rasanya melihat ibu-ibu berbondong-bondong ke bioskop demi kartian melalui film biopic ini. Ada yang mungkin sudah lupa dengan perjuangan Kartini, ada yang hanya kenal melalui lagu yang namanya jadi ‘harum’. Bagi aku yang sudah lumayan kenal dengan Kartini melalui pemikirannya, diajak ikut merasakan dilema batinnya sebagai seorang putri bangsawan Jawa. Berkali-kali, aku yang duduk di sebelah mama, berucap: ini kayak gue banget nih! Intinya, film ini membuat kedekatan cewek-cewek hari ini dengan sosok Kartini lebih intim.
Harapannya sih film ini bisa mengingatkan: wong ya sudah diperjuangkan sedemikian rupa untuk maju terus sekarang sudah enak, mbok ya jangan mundur lagi kena omongan yang nggak boleh kerja lah, nggak bisa jadi pemimpin lah. Nah, film ini memang sangat cocok buat cewek-cewek apalagi yang pingin sekolah di luar kota atau bahkan di luar negeri tapi nggak boleh sama bapak ibu atau calon suami dengan alasan anak cewek mending nggak jauh-jauh dari rumah atau mending cepetan nikah. Jadi, kalau kamu punya problem seperti yang tersebut di atas, ajak aja yang melarang itu buat nonton film Kartini. Mumpung masih ada di bioskop lho!