Beberapa hari lalu, saya mengunjungi Papa dan beliau meminta saya mencatat apa yang beliau katakan: sebuah surat kerinduan untuk warga yang amat dicintainya. Saya merasakan getaran dan setitik air mata dari tiap kata yang beliau keluarkan. Izinkan, saya membaginya di laman ini, gaya bahasa saya biarkan apa adanya. Memang tidak seromantis puisi-puisi Dilan tapi semoga bisa dipahami.
Sidoarjo, 23 Maret 2018
Yang Saya cintai, warga Kota Batu,
Saya masih ingat enam bulan pertama diberi mandat sebagai pimpinan Kota Batu. Waktu itu, saya masih awam dengan segala sesuatunya. Bisa dikatakan saya adalah orang baru di Kota Batu, belum kenal masyarakat Kota Batu secara menyeluruh. Pendekatan pun perlu saya lakukan demi lebih mengenal dan dekat dengan masyarakat. Sebelum manjadi walikota, saya adalah seorang wiraswasta sehingga segala hal tentang pemerintahan masih harus saya selami kembali. Enam bulan pertama itu menjadi masa yang canggung buat saya karena dituntut untuk segera khatam segala urusan tentang Kota Batu.
Bisa dikatakan, saya adalah walikota Batu pertama yang lahir dari proses pilihan rakyat secara langsung. Itu berarti saya dipilih langsung oleh masyarakat di mana hal tersebut adalah amanah yang harus dikerjakan sungguh-sungguh. Selama enam bulan, saya mengamati segala hal di Kota Batu, saya menyadari bahwa kota Batu adalah kota yang dianugerahi alam yang begitu indah. Kota di kaki langit yang memiliki sumber mata air besar yang mengaliri empat belas kota di Jawa Timur dan banyak di kelilingi hutan. Saya juga menyadari bahwa Batu merupakan kota yang berbudaya dengan keberagaman agama. Ketika masa-masa awal saya menjabat, kota Batu baru berusia enam tahun karena memang merupakan kota satu-satunya di Jawa Timur yang berdiri dengan undang-undang otonomi.
Berbeda dengan kota-kota yang memiliki tambang dan industri, Kota Batu memiliki keindahan alam sebagai modal untuk masyarakat dapat saling berbagi hidup. Sumber daya alam dan masyarakat ini harus bersinergi. Untuk itu, masyarakat harus terlibat dalam pembangunan yang sehat yang bisa membuat masyarakat lebih sejahtera dan beradab. Untuk mewujudkannya sebenarnya sangat sederhana, pejabat harus bisa melayani dan hadir di tengah-tengah masyarakat dalam sebuah problematika dan kesulitan-kesulitan. Bagaimana masyarakat bisa melakukan ibadah dengan baik, petani bisa beraktivitas kerja dengan lancar, anak-anak bisa sekolah, ibu-ibu bisa mengasuh putra-putrinya, pelaku seni budaya bisa menampilkan. Itulah sesungguhnya terjadi di kota kecil yang dulunya dijuluki de kleine Zwitserland oleh Belanda.
Kota ini memang kecil tidak lebih dari seratus dua puluh ribu penduduk dengan APBD tidak lebih dari seratus milliard. Luas wilayahnya juga sangat kecil. Anak-anak sekolah masih sedikit dan pendapatan per kapita masyarakat tidak lebih dari satu juta rupiah. Sebagai kota wisata, kala itu penginapan masih cukup apalagi dengan adanya dampak dari krisis lapindo. Meski demikian, saya melihat dan merasakan, masyarakatnya memiliki hati yang tulus ikhlas. Mayoritas masyarakat Kota Batu bekerja sebagai petani yang sumber kehidupannya mengandalkan dari pertanian dengan keragaman agama etnis sebagai bingkai kebhinekaannya. Itulah modal semangat saya untuk bekerja dan mengabdikan diri pada Kota Batu.
Kecintaan saya kepada mandat yang diberikan masyarakat harus terjaga dengan komitmen yang dilandasi dengan potensi yang telah dimiliki. Seperti halnya kota ini, tidak boleh berdiri industri-industri atau pabrik-pabrik yang bisa merusak lingkungan. Begitu juga dengan kampus-kampus yang akan berdiri di kota Batu. Dalam benak saya, buat apa kita harus bersaing dengan kota-kota lain yang dari dulu sudah berdiri pabrik-pabrik dan kampus-kampus yang sudah punya nama. Yang paling utama, bagi saya, adalah bagaimana bisa mengembangkan pertanian yang telah lama menjadi sumber kehidupan masyarakat. Serta akan lebih baik anak-anak bisa menempuh pendidikan ke perguruan tingggi yang berkualitas. Saya memilih agar bagaimana sumber mata air, alam, dan hutan ini menjadi sumber kehidupan masyarakat agar lebih sejahtera. Yang paling penting dan yang selalu saya sampaikan, pemerintah tidak hanya sekedar mengejar prestasi pendapatan asli daerah, tapi yang lebih dulu masyarakat bisa melayani kebutuhan masyarakat dengan baik. Tidak perlu sibuk mengejar prestasi-prestasi atau penghargaan tapi yang utama adalah bagaimana fokus agar masyarakat bisa hidup makmur.
Saat saya menulis surat ini, saya sudah enam bulan lebih menjalani proses sidang yang berjalan di akhir-akhir persidangan. Dan, tidak terasa saya sudah tidak bersama masyarakat Kota Batu selama enam bulan lebih. Tentu saja saya begitu rindu untuk berdiskusi, berinteraksi, bersilahturahmi di mana sebenarnya di situ saya menimba ilmu yang selalu baru. Apapun hasil dalam proses persidangan ini, balai kota among tani yang menjadi simbol gotong royong seluruh masyarakat dan aparatur pemerintah tetap harus terjaga. Among Tani merupakan simbol kepercayaan yang dirasakan selama ini untuk kota seluruh lapisan masyarakatnya. Saya yakin simbol itu tetap menjadi semangat dan penanda bahwa kota ini akan selalu menjadi kota yang mensejahterakan rakyatnya di negara kita. Meskipun saya berada jauh dari Kota Batu, saya selalu mendoakan Kota Batu akan selalu terjaga kerukunannya dan saya tidak akan pernah meninggalkan meskipun tak lagi menjabat sebagai kepala daerah. Saya yakin dan percaya, pemimpin-pemimpin bangsa akan lahir dari kota “AMONG TANI”.
Hormat saya,
Eddy Rumpoko