Baru-baru ini istilah Anak dengan Privilege sedang ramai jadi perbincangan. Mungkin, paska Presiden Jokowi mengumumkan tentang staff milenialnya, mungkin lho ya. Di sini, saya tidak ingin membantah komentar yang mengatakan, “pantesan aja masih umur segitu bisa jadi CEO, lha wong bapaknya yang punya itu kok.” Endak. Wajar lah ketika banyak orang berpendapat demikian dan memang sedikit banyak, banyak benernya.
Maaf-maaf saja nih, mereka yang disebut sebagai anak dengan privilege (yang mungkin saya termasuk bagian dari mereka itu) tentu tidak pernah merasakan sebelum berangkat sekolah harus nandon banyu supaya bisa mandi, berangkat lebih pagi supaya dapat angkot, pulang sekolah ndak harus bantu-bantu bersihin rumah atau pun mbeteti lele. Tugas seorang anak dengan privilege cuma duduk manis di sekolah, kalau dirasa kurang cepat nangkap pelajaran ya panggil guru les. Kalau perlu pulang sekolah diisi dengan les-les yang menambah skill.
Makanya, sangat wajar ketika mereka bisa meraih kesuksesan dengan mudah dan di usia yang masih terbilang cukup muda. Dan netizen ramai-ramai berhak berkomentar, “emang udah sukses dari orang tuanya.” Sebaliknya, kalau mereka selow-selow aja dan minim prestasi, kompak netizen berhak berkomentar, “duh, kok nggak hebat kayak orang tuanya sih.” Pokoknya, wajib hukumnya dinyinyirin sejak dalam pikiran.
Kalau kamu bingung mau kerja di mana, setelah lulus semua jenjang pendidikan, anak dengan privilege bingung mau buka usaha sendiri atau meneruskan usaha orang tua. Duh galau banget deh. Hanya satu kendala yang harus dihadapi oleh semua anak dengan privilege di seluruh dunia.
Cinta?
Restu orang tua?
Bukan!
Diri sendiri.
Ya bayangkan saja, kamu kamu yang sekarang working nine to five demi segala macam cicilan dan produk skin care, apa masih bakal produktif berkarya jika tiba-tiba semua fasilitas sudah terpenuhi? Banyak anak dengan privilege yang bisa memanfaatkan segala koneksi dan fasilitas untuk berinovasi. Tapi bisa jadi lebih banyak lagi yang tidak mampu mengolah tanggung jawab besar tersebut dan justru terbebani. Sederhananya, Tony Stark nggak mungkin tiba-tiba bisa jadi Iron Man hanya dengan modal warisan Stark Industries dari bapaknya. Dia harus punya visi untuk menyelamatkan dunia, rajin belajar fisika, bela diri dan mau kerjasama dengan yang lain.
So, untuk anak-anak dengan privilege, saya ucapakan selamat berjuang melawan diri sendiri dan jangan patah semangat jika pencapai-pencapaianmu selalu dikaitkan dengan usaha bapakmu.