Selamat Jalan, Pak Lik Didi Kempot: Sebuah Catatan Pribadi Sobat Ambyar

Harus saya akui, saya bisa dengan bebas dan bangga menyanyikan lagu-lagu Didi Kempot baru beberapa tahun ini. Mungkin, tepatnya ketika para fansnya mulai menampakkan diri sekitar dua atau tiga tahun belakangan ini dan menyebut diri mereka sebagai #SobatAmbyar. Setelah hampir tiga puluh tahun berkarya (sama dengan usia saya saat ini), akhirnya lagu-lagu Maestro Campursari tersebut berhasil meracuni telinga-telinga berbagai kalangan. Saya tidak akan membahas bagaimana penyanyi yang tinggal di Solo itu bisa meraih sukses karena konsistensinya berkarya atau fenomena galau berjamaah yang membuat Cak Didik tiba-tiba digandrungi anak muda. Tulisan ini adalah murni catatan pribadi seorang fans yang sedang bersedih ditinggal idolanya yang benar-benar sedang di puncak performa. Ya, serupa lah dengan gadis remaja yang patah hati ditinggal kekasihnya saat lagi sayang-sayangnya.

Jauh sebelum era YouTube apalagi Spotify, saya adalah seorang remaja yang mendapatkan referensi musik dari: MTV, Selamat Pagi Indonesia di RCTI, pedangan VCD bajakan depan Toko Siswa depan Alun-Alun Malang. Di situ lah saya berkenalan dengan pria gondrong yang menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jawa. Norak. Istilah itu yang mungkin ada di kepala saya yang masih berumur kurang dari dua belas tahun. Iya, sepertinya akan dianggap kampungan kalau mendendangkan lagu tersebut di kalangan teman-teman. Sayangnya, lagu norak itu malah nyantol di otak dan kadang-kadang tanpa sadar saya gumamkan ketika bosan di kelas. Jauh sebelum dia dijuluki sebagai The Lord of Broken Heart karena lagu-lagu patah hatinya, saya terlebih dahulu mengenalnya lewat Prau Layar, Caping Gunung, dan Yen Ing Tawang Lintang (bahkan lagu Prau Layar ini jadi seperti soundtrack ketika Bapak saya kampanye tahun 2007).

Perkenalan saya lebih dalam adalah ketika salah satu lagunya dinyanyikan oleh Aremania di Stadion saat pertandingan Arema. Lirik, “manuk e manuk e cucak rowo, cucak rowo dowo buntut e, buntut e siang akeh wulune, yen digoyang ser ser aduh enak e,” diubah menjadi, “Arema Arema Singo Edan, Singo Edan Aremania, Sekarang Arema Menang…” lanjutkan sendiri ya… Waktu itu meskipun lagu ‘Ketaman Asmoro’ sangat mewakili perasaan saya sebagai remaja yang sedang kasmaran, tetapi rasanya saya akan dicap kampungan jika mengirimkan lagu tersebut untuk sang gebetan.

Selama bertahun-tahun saya dan mungkin beberapa di antara kalian mencintai lagu-lagu Didi Kempot dalam diam. Menikmatinya saat sendiri entah untuk merayakan hati yang sedang jatuh cinta dengan Sekonyong Koder, menikmati sendunya patah hati dengan Cidro, atau meratapi nasib karena mencintai yang telah menjadi miliknya dengan Jambu Alas. Apapun itu, saya patut berbahagia karena pada akhirnya banyak orang bisa terhipnotis dengan lagu-lagu yang syairnya berbahasa Jawa mataraman tersebut.

Tentu tidak pernah terbayangkan sebagai seorang yang dulu hanya berani nyanyi sambil joget-joget sendiri di kamar, kini bisa menonton konsernya mulai dari yang gratisan sampai yang eksklusif. Di panggung acara daerah, acara anak senja yang gaul-gaul, acara kampus, acara pensi sekolah, acara televisi, di mana-mana, konon kabarnya jadwalnya sudah penuh sampai setahun ke depan. Dari puluhan lagu yang diciptakan Didi Kempot, lagu-lagu bertemakan patah hati dan kerinduan lah yang membuat karirnya meledak. Bersedih karena patah hati seperti sebuah aib yang harus ditutupi, seolah hal tersebut tabu untuk diumbar. Mengubar patah hati hanya akan menempelkan stigma AMBYAR di jidat kita. Namun rasanya, dalam lagu-lagu Didi Kempot tersebut tersirat mantra yang membuat saya sebagai pendengar benar-benar menghayati kesedihan hingga merasa tidak apa-apa bersedih dan dengan bangga memplokamirkan keambyaran yang hakiki. Ketika menonton konsernya, saya diajak untuk bergoyang sambil meneriakkan kesedihan itu lewat syair lagunya yang sangat mewakili kesedihan saya. Namun, setelahnya kesedihan itu seolah menjadi teman yang pas untuk bersenang-senang.

Kegagalan adalah hal yang biasa saja dalam hidup. Kebanyakan lagu-lagu Didi Kempot memang bertemakan kegagalan soal cinta. Namun, entah kenapa saya memaknai lirik lagu patah hatinya dengan kegagalan secara universal. “Wong salah, ora gelem ngaku salah, suwe-suwe sopo wong e sing betah. Mripatku uwes ngerti, kowe seneng golek menangmu dewe. Tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki,” sepenggal lirik dari lagu Suket Teki tersebut mengisahkan seorang yang jenuh karena selalu mengalah dan disalahkan, seperti apa yang dikerjakannya selama ini sia-sia saja. Sepenggal lirik lagu patah hati tersebut selalu saya perdendangkan keras-keras ketika sedang suntuk dengan situasi pekerjaan yang penuh tantangan dan persaingan ketat.

Seniman yang telah mengajarkan saya bersahabat dengan rasa sedih, gagal, dan ambyar itu telah berpulang. Tentu saja ini menjadi patah hati paling ambyar berskala besar tingkat nasional, tapi saya yakin seluruh Sobat Ambyar akan mampu melewati seperti pesan terakhirnya kuat ora kuat pokok e kudu kuat.

Belajar dari Klub Premier League: Perbanyaklah Tersenyum Saat Jadi Steward!

Siang itu di kota Liverpool, saya mencoba mengobati kerinduan akan kampung halaman dengan menonton streaming pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persib. Pendukung Cronus?  Please, saya sedang tidak membahas itu. Dua kali empat puluh lima menit saya cukup terhibur menonton sambil mengamati komentar-komentar di sosial media. Hingga memasuki tambahan waktu, pertandingan tiba-tiba terhenti, lapangan menjadi penuh, dan streaming terputus.

Tentu saja kerusuhan pertandingan sepakbola yang hingga menelan korban membuat hati saya hancur. Bagaimana tidak, saya masih ingat jelas ketika pertama kali saya berada di tengah kerusuhan sepakbola. Waktu itu di Madiun, saya masih duduk di bangku SMP dan itu berarti lebih dari sepuluh tahun yang lalu, beberapa nama menjadi korban atas pertandingan sepakbola. Miris nggak sih kalau hal itu masih terjadi sampai hari ini?

Di sini, saya tidak ingin mengkritik atau mencari siapa yang salah jika ada kerusuhan dalam pertandingan sepakbola. Saya hanya ingin mencoba berbagi sedikit pengalaman di mana kebetulan beberapa bulan ini saya kerap terlibat langsung (meskipun kecil)  dalam sebuah pagelaran pertandingan sepakbola.

Singkat cerita sembari kuliah, saya bekerja paruh waktu di salah satu klub sepakbola sebagai steward. Waktu kerjanya cukup fleksibel karena hanya saat pertandingan berlangsung. Seperti di benak kalian, selain gaya, saya juga jadi bisa ngintip-ngintip pertandingan gratis (dibayar lagi). Sebelum saya bekerja, pastinya saya diberi pelatihan terlebih dahulu. Saya mengira di situ saya akan dilatih selayaknya seorang militer yang mau maju ke medan perang dan diajari bagaimana pasang muka sangar supaya holigan-holigan itu nggak selengekan.

Rupanya saya keliru besar, menjaga pertandingan sepakbola bukan mau perang tapi mau melayani fans. Dalam pelatihan itu memang saya diberi arahan bagaimana bersikap jika ada fans yang berperilaku agresif (memaki, marah, dan lain-lain) atau mabuk (pasti ada karena memang jual alkohol di dalam stadion). Namun, di situ kami selalu ditekankan untuk bersikap ramah kepada fans yang datang. Kami diwajibkan untuk selalu  memasang senyum paling manis dan aktif menyapa fans yang akan menonton pertandingan. Mereka sadar betul bahwa fans adalah nafas dari klub mereka sehingga harus diperlakukan sebagai tamu agung saat datang di markas mereka. Tidak seperti nonton konser yang pulang pasti senang karena habis jingkrak-jingkrak, kadang fans sepakbola harus pulang dengan kekecewaan karena timnya kalah. Di situ tim steward harus tetap memasang tampang ramah dengan mengucapkan terimakasih kepada fans yang telah datang dan sedikit basa-basi untuk meredam kekesalan mereka.

Memang sih memberikan perlakuan ramah tidak lantas menjamin hilangnya kerusuhan dalam pertandingan sepakbola, tapi saya percaya memberikan perlakuan yang lebih manusiawi bisa mencegah terjadinya kebrutalan. Toh tidak ada salahnya dan mudah kan menjaga pintu masuk stadion dengan tersenyum sembari menyapa, “yo opo kabare rek? tiket e digowo yo, ati-ati mlebune nggak usah nyanyi sing paten-patenan…” Ya, semoga saja ini yang terakhir, ya.

“Kak, Papa Itu Lho Katanya Mau Ngajak Aku Liat Kelinci di Amongtani tapi Malah Pergi Sama Temen-Temennya”

Kira-kira begitu jawaban Raras, adikku yang masih berusia enam tahun, ketika kutanya ke mana Papa. Hari itu di Liverpool masih menjelang pukul sebelas siang dan aku baru selesai mencuci pakaian saat kudapati wajah mama kosong sembari mengabarkan tentang Papa. Sebagian dari kalian mungkin sudah membaca berita yang beberapa hari lalu berkeliaran di komen blog ini, berikut celoteh cemooh di sosial media ku. Di tengah persiapan kuliahku yang rumit, kabar dari rumah ini pastinya memakan banyak energi. Maaf jika respon atas berita itu baru sempat kutuliskan sekarang.

Masih ingat betul di kepalaku, hari itu Jumat sekitar pukul lima atau enam sore di Liverpool saat Papa menelpon dengan menggunakan video call. Di Batu sudah hampir tengah malam. Papa menunjukkan Raras yang masih loncat-loncat di tempat tidur dan belum menunjukkan kantuk sama sekali. Percakapan seputar apa saja yang dilakukan dan lain sebagainya. Papa bercerita malam itu dia baru pulang dari Pupuk Bawang dan ingin langsung tidur. Sempat kudengar Papa bilang pada Raras, besok hari Sabtu Raras libur dan bisa ikut Papa jalan-jalan.

Untuk itu, ketika kabar itu sampai di telingaku, yang ada di benakku hanya Raras dan aku langsung coba menghubunginya. Tak langsung tersambung, wajah anak itu baru muncul di layar ponsel beberapa jam kemudian dengan senyum tengilnya. Kutanya bagaimana harinya, hingga kutanya apakah hari itu jadi pergi sama Papa. “Kak, Papa itu lho katanya mau ajak adik ke amongtani liat kelinci, tapi terus langsung pergi sama temen-temennya,” katanya sedikit mengadu. Adikku ini memang suka sekali dengan binatang, kalau sudah besar dia mau jadi penjaga kebun binatang katanya. Hampir setiap sore dia main-main ke Balaikota Amongtani Batu untuk bermain bersama kelinci dengan anak-anak lainnya.

Di sini, aku tidak bermaksud membela siapapun. Aku hanya mencoba menuliskan apa yang selama ini kuketahui dan yang pasti sangat amat terbatas karena aku tidak ada di tempat kejadian dan aku juga bukan ahli hukum. Sebatas yang aku tahu, hari itu, Papa tidak punya agenda pertemuan dengan siapapun dan hanya ingin meluangkan waktu untuk Raras yang sedang galau karena Mamanya mengantarku pindah ke Liverpool. Selanjutnya, aku hanya mendapat kabar ‘katanya’ karena tak mungkin bisa bertanya pada Papa secara langsung.

Hampir sepuluh tahun Papa menjalankan amanat sebagai walikota Kota Batu, tak ada lain semangat yang beliau ceritakan selain agar bisa membantu yang lain.

“Tadi, Dik, Papa jalan ke desa ini, masyarakat di sana semua senang karena jalannya sudah bagus…”

“Kamu lihat foto yang tadi Papa kirim? Itu SD di Batu, kayak sekolah intersional kan? Itu gratis, Dik…”

“Papa tadi ikut panen lho, Dik…”

Kira-kira seperti itu lah cerita Papa kalau lagi meneleponku malam-malam. Aku yang hampir sepuluh tahun ini banyak berada di luar kota, tak pernah absen mendengarkan kisah gembiranya di Kota Batu melalui telepon. Pernah aku bilang ke Papa untuk sesekali isitirahat, paling nggak seminggu ada lah satu hari off dari kegiatan-kegiatan. Mainan sama cucu gitu, mungkin. Ups. Eh, Papa malah bilang, “enggak enak kalau cuma diam saja di rumah, kalau nggak ngantor yang mending jalan-jalan ketemu sama warga, ngobrol-ngobrol.”

“Kamu sudah di rumah ini, Dik?”

“Iya lah, Pa, sudah ngantuk,”

“DJ nya siapa yang main?”

“Iya Pa, bentar lagi pulang,”

*OOT dikit ya, bukan OTT*

Pastinya, peristiwa ini sangat seksi untuk diulas dengan bumbu-bumbu manis getir mengundang nafsu klik bait. Dari hampir sepuluh tahun, pernahkah ada judul berita media daring semacam: “Mengejutkan, Sekolah Di Kota Batu Gratis, Siapa Mau Pindah Ke Sini” atau “Enggak Sengaja Hamil? Tenang! Biaya Persalinan Di Kota Batu Gratis lho Ibu-Ibu”? Kalau ada, sepertinya tak akan banyak mengundang apresiasi, begitu di klik, tutup lagi, nggak di-share, nggak komen ke akun personal yang bersangkutan dan keluarga. Beda dengan berita OTT seperti kemarin yang meski tulisannya minim data, bahkan cuma salin tempel akun sosmed (enggak kaget juga sih kalau ada yang ngutip tulisan ini cuma sebagian tanpa konteks terus diberi judul melenceng jauh), langsung banyak menuai komen, share, dan kecaman personal. Aku tidak ingin menyalahkan jurnalis zaman now atau warganet karena memang lebih mudah membicarakan keburukan dari pada mengingat kebaikan. Namanya juga lyfe.

Eh, enggak sepenuhnya betul juga sih. Enggak sedikit juga yang menyampaikan dukungan lewat apapun. Mereka yang bersimpati menuliskannya dengan detail segala kinerja nyata yang telah dirasakan. Sangat disayangkan, aku tidak sampai hati membacanya secara utuh. Kuucapkan terimakasih dan mohon doa untuk segala prosesnya.
Di tulisan yang lain (yang mendadak banyak komen dan share), aku menyebutkan bahwa aku fans-nya KPK. Bagaimana sekarang? Sikapku masih sama, aku mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Ketika peristiwa cicak vs buaya, kerap kali aku turun ke jalan bersama kawan-kawan yang lain untuk mendukung KPK yang terus menerus dikriminalisasi. Yang aku tahu ketika itu, KPK adalah lembaga negara yang di dalamnya terdapat banyak negarawan arif nan bijaksana. Pernah kulihat di televisi, cara kerja KPK yang heroik seperti FBI dan semua bukti penyidikannya dilaporan secara transpran. Kuharap, dalam kasus ini, KPK masih seperti yang saat kudukung di foto ini. Foto yang sempat menjadi profil picture Papa dan Mamaku.

IMG_5989

Resmi! Aremanita Asal Batu ini Akan Ditransfer ke Liverpool Musim Ini

 

Kabar gembira datang dari Aremanita asal Kota Batu: Ganis Rumpoko. Bukan, bukan karena akhirnya dia menikah karena kalau itu terjadi dipastikan akan muncul tagar hari patah hati sestadion di kalangan warganet. Lalu apa? Begini, kabar yang beredar menyebutkan bahwa gadis kelahiran tahun 1990 itu kini tengah mempersiapkan diri untuk hijrah sementara ke Liverpool. Pada suatu acara televisi lokal Malang, Ganis menyampaikan rencana transfer dirinya Liverpool terhitung pada September tahun ini. Tentu saja bukan untuk menggantikan Klopp. GR, begitu nama wasapnya, akan menempuh pendidikan master di University of Liverpool. Rencananya, dia akan tinggal kurang lebih satu tahun di U.K. bisa jadi lebih jika dirinya berhasil menjadi wags, tapi kecil kemungkinannya mengingat dirinya telah berjanji untuk segera pulang dan insyaallah sah.

Dalam obrolan berdurasi enam puluh menit tersebut, Ganis bercerita bahwa dirinya akan mengambil jurusan Sports Business. Niat Ganis untuk mengambil kuliah ini muncul karena kesukaannya bermain game top eleven. “Semacam jadi manager sepak bola gitu, terus aku menangan jadi ngerasa kayaknya bisa ini jadi manager bola,” ungkapnya dengan nada medog yang khas. Kemudian Ganis mencoba mencari di dunia maya, pelatihan tentang managemen sepak bola atau olahraga. Ndelalah, dia menemukan bahwa ternyata malah begituan itu ada jurusannya sendiri di beberapa universitas. Ya maklum kan ya kalau nggumun, sebagai seorang yang menjalani masa remaja dengan pendidikan di Indonesia kan yang waktu itu masih diajarinya kalau ga jadi dokter, polisi, presiden, guru, sekertaris, ya gitu lah.

Terus mau jadi apa? Manager arema? Dih, nggak usah jauh-jauh sekolah kalik kalau cuma mau jadi manager sepakbola di Indonesia, yang penting punya duit atau punya koneksi ke Bapak!

Nah untuk yang satu itu Ganis memang belum bisa menjawab dengan yakin. Pasalnya, dia tahu betul akan berhadapan dengan akun-akun anonim yang ujuk-ujuk mengomentari dirinya punya kepentingan, anak ingusan yang suka cari sensasi, dan lain sebagainya. Yang pasti, melalui blog pribadinya yang ditulis sendiri dengan gaya berita dan sudut pandang orang ketiga, Ganis menyatakan bahwa hal terbesar yang mendorong dirinya untuk mengambil jurusan sports business adalah karena dirinya ingin berkontribusi memajukan dunia olahraga khususnya sepakbola di Indonesia. Tidak seperti ayahnya yang ujug-ujug nyalon Ketum PSSI, Ganis punya cara sendiri yang sedang dirancang.

Ya, semoga segala niat baik berbuah baik.

Merayakan Perjuangan Kartini Tanpa Perlu Berkonde

Jujur saja, Hari Kartini jadi hari yang paling kubenci ketika kecil. Di hari itu, aku harus bangun pagi-pagi untuk didandani dengan sanggul dan kebaya. Demi apa? Demi mirip seperti penampilan Ibu Kartini. Siapa sih Kartini itu kok kita harus memperingati tanggal kelahirannya dengan konde dan kebaya? Pakar fashion busana Jawa kah?

Beranjak remaja, aku berkenalan secara langsung dengan Kartini lewat Surat-surat Kartini yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dari situ aku mulai mengagumi dan mencoba mencari jejak-jejak lain tentang Kartini. Dan juga, mulai mengikuti segala yang dilakukannya: membaca dan curhat melalui tulisan.

Meski demikian, aku masih sering gagal paham setiap melihat rangkaian acara peringatan Hari Kartini. Pada hari itu, di era lini masa, bertebaran foto-foto perempuan dengan kebaya dan sanggul (buat yang nggak jilbaban), diikuti dengan caption “selamat hari Kartini perempuan hebat yang selalu membantuku nyuci, ngepel, masak…” Duh dek! Secara offline, aku juga masih menjumpai lomba masak, lomba busana, dan lomba-lomba lain yang katanya ‘cewek banget’ demi memperingati Hari Kartini. 

Lho, Kartini itu pejuang emansipasi yang menuntut kesamaan hak perempuan Jawa biar ndak cuma disuruh masak, macak, manak, aja kan? Kok hari lahirnya malah dirayakan dengan cara kayak gini?

Untungnya, tahun ini ada sedikit pemandangan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Yeah meski nggak masif, sistematis, dan terstruktur, lewat Film Kartini karya Hanung Bramantyo seolah mengajak ibu-ibu milineal untuk merayakan Hari Kartini dengan cara yang baru. Sebagai seorang yang bukan pakar perfilman, aku nggak ingin menilai baik atau fals nya film ini. Hanya senang saja, karena dengan film ini, ada medium yang bisa mengenalkan Kartini secara mendalam dan mudah, agar supaya Kartini ndak hanya sekedar dirayakan dengan ramai-ramai berkonde dan berkebaya. Meskipun cinta tradisi itu juga penting, rasanya sedikit nggak rela aja kalau perjuangan Kartini yang begitu dalam hanya diapresiasi hanya sebatas tampilan. 

Kebetulan, aku sudah nonton film ini bersama mama yang kala itu mengajak banyak ibu-ibu lainnya. Senang rasanya melihat ibu-ibu berbondong-bondong ke bioskop demi kartian melalui film biopic ini. Ada yang mungkin sudah lupa dengan perjuangan Kartini, ada yang hanya kenal melalui lagu yang namanya jadi ‘harum’. Bagi aku yang sudah lumayan kenal dengan Kartini melalui pemikirannya, diajak ikut merasakan dilema batinnya sebagai seorang putri bangsawan Jawa. Berkali-kali, aku yang duduk di sebelah mama, berucap: ini kayak gue banget nih! Intinya, film ini membuat kedekatan cewek-cewek hari ini dengan sosok Kartini lebih intim. 

Harapannya sih film ini bisa mengingatkan: wong ya sudah diperjuangkan sedemikian rupa untuk maju terus sekarang sudah enak, mbok ya jangan mundur lagi kena omongan yang nggak boleh kerja lah, nggak bisa jadi pemimpin lah. Nah, film ini memang sangat cocok buat cewek-cewek apalagi yang pingin sekolah di luar kota atau bahkan di luar negeri tapi nggak boleh sama bapak ibu atau calon suami dengan alasan anak cewek mending nggak jauh-jauh dari rumah atau mending cepetan nikah. Jadi, kalau kamu punya problem seperti yang tersebut di atas, ajak aja yang melarang itu buat nonton film  Kartini. Mumpung masih ada di bioskop lho! 

Wah, Warung Saya ‘Disidak’ Pak Da’I Kondang

Disclaimer:

Ini adalah pengalaman saya, sebagai pebisnis hospitaliti yang ujug-ujug kedatangan tamu VIP, yakni penceramah kondang kaliber international. Adapun maksud tulisan ini untuk seedar berbagi cerita bukan suatu pernyataan sikap pro atau kontra. Bacalah sembari menyedu teh atau kopi tanpa perlu ditambah emosi.

Selasa pagi ketika aku bangun tidur, eh siang ding aku kan bangunnya siang, seperti biasa hal yang pertama yang kulakukan adalah mengecek hape dan seperti biasa juga puluhan notifikasi pesan muncul di layar. Maklum orang sibuk. Salah satu pesan berasal dari papa yang mengirimkan file berisi sebuah jadwal dengan judul: Jadwal Kunjungan Prof. Dr. Zakir Naik Di Kota Batu. Dan di situ ada tulisan, rombongan makan malan di Pupuk Bawang. Hah, bercanda ini pasti! Mengingat aku dan papa sering kirim-kiriman meme yang berbau isu-isu yang sedang popular.

Ternyata papa nggak sedang bercanda karena begitu tiba di warung, ada yang menginformasikan kalau besok ada yang mau memborong tempat untuk besok. Iya, besok banget, saudara-saudara. Jujur secara pribadi, aku kurang mengenal sosok tamu istimewa yang memesan seluruh meja di warungku untuk makan malam itu. Memang aku pernah beberapa kali melihat video ceramahnya di youtube dan beberapa teman sosmed memposting tentang beliau. Dengan pemahamanku yang cukup minim ini, kira-kira aku tahu apa yang harus aku ‘bersihkan’ untuk menyambut kedatangan beliau.

Malam itu juga, kami sewarung berkumpul untuk merencakan jamuan yang pas untuk rombongan Prof. Dr. Zakir Naik. Mulai dari menu yang akan disajikan, layout ruangan, dekorasi, hingga keamanan. Tentu saja secara pribadi, aku ingin memberikan kesan yang baik bukan karena ngefans dengan figur beliau, tapi begitulah tuntutan profesi. Di bidang pariwisata, siapa pun tamu yang datang wajib hukumnya diladeni dengan keramahan. Apalagi, papa mengatakan bahwa yang memilih untuk makan malam di Pupuk Bawang adalah tim protokol rombongan Doktor Zakir Naik sendiri. Itu jadi semacam amanah yang harus dibuktikan.

Di awal, kami merasa santai saja, seperti selayaknya mendapat orderan besar yang memang harus menutup untuk seluruh area untuk umum karena masalah kapasitas. Toh pihak yang menghubungi tidak banyak memberikan persyaratan harus ini harus itu. Hingga beberapa saat menjelang kedatangan, banyak pihak kepolisian yang datang untuk mengamankan area. Wah, serius juga ini pengamanannya, pikirku jadi sedikit deg-degan. Sampai rombongan Pak Zakir Naik tiba, persyaratan-persyaratan itu pun baru muncul, seperti yang melayani tamu laki-laki harus server laki-laki. Sebaliknya, tamu perempuan harus dengan server perempuan.

“Yang ibu dan anak perempuannya Pak Zakir itu sangat sensitif sekali dengan kamera. Tolong jangan ada yang foto-foto di sekitar mereka ya,” ujar salah satu protokol yang mendampingi Dr Zakir Naik.

Persyaratannya cukup sederhana sebenarnya, hanya saja kami yang dari awal nggak kepikiran jadi sedikit kalang kabut. Jujur nggak banyak server yang bisa berbahasa Inggris secara baik apalagi yang perempuan. Jadilah, aku sendiri (yang memang sehari-hari nggak berjilbab dan nggak pingin hanya karena acara khusus semacam ini) turun tangan untuk meladeni rombongan perempuan di mana mereka bersedia mengambil makanan menunggu setelah para lelaki selesai mengambil makanan. Kami menyiapkan dua area buffet, di mana yang satu untuk rombongan utama Dr Zakir Naik dan satu lagi untuk rombongan pengantar dan keamanannya, bukan berdasarkan laki-laki atau perempuan. Malem itu rasanya kayak sudah nyiapin belajar Matematika, eh tapi ternyata besoknya ulangan Biologi.

Jangan tanya apa saja yang sempat aku bicarakan dengan Pak Zakir malam itu karena aku cuma laden dan jelas tidak bisa bercakap langsung dengan beliaunya. Ada awkward moment di mana saat Mas Fariq Naik, anak cowoknya Pak Zakir yang juga suka ceramah, liat-liat show case ice cream dan kebetulan aku berdiri di dekat situ. Dengan cara Inggris aku bertanya apa dia pingin ice cream yang diiyakan olehnya. Aku memanggil server cowok untuk mengambilkan ice cream yang diinginkan, namun karena si server itu nggak terlalu bisa bahasa Inggris, jadilah aku tetap mendampingi. Aku sadar kalo si Mas Fariq ini sepertinya agak risih karena aku yang berbicara. Dari pada dianggap berzina mata jadinya aku ngomong sambil menatap langit-langit atap saja. Buat aku aneh karena nggak sopan, tapi mungkin buat Mas Fariq lebih nyaman begitu.

Untungnya semua berjalan lancar, bahkan terbilang sukses. Keluarga Pak Zakir menikmati suguhan yang disajikan. Bukan sekedar omongan, mereka bahkan sampai tambah-tambah dan minta mbungkus buat makan di hotel. Dari banyak pertanyaan dan mungkin ungkapan yang berseberangan dengan pendapat Pak Zakir, aku cukup puas bisa memberikan pelayanan yang maksimal untuk beliau. Secara tidak langsung aku ingin memberi gambaran bahwa di Indonesia ini meski banyak individu yang secara ideologi berseberangan, kami tetap menjalin silahturahmi yang baik antara satu dan yang lain. Tolong jangan diubah.

KOTA KECIL ITU KINI SEMAKIN BERKILAU LEWAT SEBUTAN KOTA WISATA BATU

 

Seperti pada sore-sore sebelumnya, sore itu aku dan dua saudara sepupuku, Dika dan Arto melakukan ritual nyore kita. Sehabis lari sore di kaki Gunung Panderman, tepat pukul empat lewat dikit di rumah kosong bekas kantor punya papaku di Kota Batu. Di belakang rumah bergaya kolonial itu, ada halaman yang lumayan besar dengan pemandangan hamparan perkebunan sayur plus pegunungan. Di sore hari, kami bisa meliha orang-orang yang sedang main paralayang di Gunung Banyak. Rumah yang berlokasi di Jalan Panglima Sudrirman, Batu itu saat itu menjadi markas mendadak kami.

Di sana, kami yang kini mendadak jadi Arek Batu, sering berdiskusi apa saja sambil menikmati matahari yang mulai berpamitan. Tak jarang embun putih menyapa kami yang sedang tipis-tipis enak. Kami yang baru kemarin sore pegang KTP Batu, masih terbuai dengan udara Kota Batu yang seolah terus-terusan ngajak kelon.

DSC00045
Nyore dengan pemandangan seperti ini. Syurga dunia!

“Ngapain sih, Ka, kok kamu tiba-tiba pindah ke Batu? Bukannya udah enak ya di Jakarta? Mau ngapain juga di Jakarta ada. Kamu juga lebih enak kan kalau ada balap-balap gitu. Aku aja nih yang kemarin seminggu di Malang udah mati gaya, padahal di Malang lho ya yang masih ada bioskop masih ada tempat duduk gemetar alias dugem,” cerocosku membuka obrolan sore itu. Dika memang hobi balap dan kerap menyabet berbagai juara dari situ (memang nggak sengetop Rio Harianto sih tapi nggak kalah ganteng lho coba aja kepoin IGnya @dikachampion).

“Wuih bukan main Mbak Ganis mantan anak gaul Jogja. Yang tiap Rabu gaul di mana tuh?” sahut Arto sedikit membuka earphone yang nangkring di telinganya.

“Nah, justru itu, Nis! Di Jakarta semuanya sudah ada. Nah, kalau yang kamu cari di sini nggak ada, gimana caranya kita bikin ada!” jawab Dika. Aku cuma manggut-manggut padahal bingung.

Matahari sudah benar-benar meninggalkan kami yang masih asyik cerita-cerita, meski sebenarnya topiknya mulai ngelantur. Nah, ketika malam tiba, pemandangan Kota Batu dari markas kami semakin keren. Lampu-lampu kota semakin terlihat, langit dengan gemerlap bintangnya. Duh, pokoknya sudah kayak Meteor Garden lah. Kami pun tak mau kalah keren dengan mencoba mengimbanginya, Arto yang suka betul dengan musik dan lagi belajar DJ memutar lagu-lagu andalan dari laptop yang disambung ke speaker kesayangannya. Dinginnya Kota Batu di malam hari yang setara dengan suhu AC itu berbaur dengan suasana yang hangat.

DSC00179Aku dan Arto: Mulai anget

Cantiknya Kota Batu kurasa tak jauh berbeda dengan ketika dulu aku kecil. Lahir dan besar di Malang, sebelum Malang penuh dengan berbagai tempat nongkrong dan mall, tempat yang paling asyik buat malam mingguan ya ke Batu. Sewaktu remaja, zaman baru bisa bawa sepeda motor, pasti aku dan teman-teman dan pacar (yang sekarang sudah mantan) kalau weekend ya nongkrongnya di Songgoriti, di Payung lho maksudnya, bukan Gang Macan. Apalagi waktu itu lagi happening novel Dealova yang di latar cerita ada tempat namanya Bukit Bintang. Jadilah, pokoknya kalau mau pacaran yang romantis ya ke Batu biar macam di novel itu. Tapi masa iya sih aku yang sekarang, yang sudah kecampur gaya hidup kekinian weekend­-nya nongkrong di Payung kayak dulu, makan indomie, sama jagung, sama minum kopi susu sasetan.

“Coba kalau di sini ada lounge kayak di Bali-bali gitu tapi pemandangannya gini,” gumamku.

“Point tuh!” Dika menimpali.

Siapa yang ngegolin? Bukan, maksud Dika itu adalah sebuah ide brilliant yang niscaya akan membuat hari-hari kita lebih bermanfaat dari pada sekedar ngabisin beras di rumah. Mulanya, aku ragu, memang bakal laku begituan di sini. Kebetulan diskusi itu terjadi di hari Sabtu, di mana jalanan di Kota Batu padat merayap menjurus ke arah macet. Sebutan kota wisata rupanya bukan sekedar embel-embel saja. Hampir sepuluh tahun terakhir pariwisata di Kota Batu terus meningkat. Kalau macet di Jakarta penuh malapetaka, bisa dibilang macet di Kota Batu penuh berkah karena itu berarti banyak pedagang-pedagang dari yang kecil sampai yang besar kecipratan senangnya.

Ada banyak orang dari luar kota yang datang ke Batu untuk berwisata, rasanya rugi besar kalau aku yang sedari kecil hangout di Batu nggak bisa turut menjamu mereka.

Kurang lebih tiga bulan, kami bertiga mempersiapkan tempat di mana orang-orang bisa menikmati gemerlap Kota Batu. Markas kami yang semula hanya bangunan tua yang penuh dengan barang-barang antik, kami sulap menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk sekedar bersantai bersama teman-teman atau melepas lelah dan mengisi perut setelah seharian berekreasi di Kota Batu. Kami sempat bingung memberi nama tempat ini. Dari nama-nama tumbuh-tumbuhan sampai nama binatang, dari bahasa Inggris sampai latin yang kami sendiri nggak ngerti artinya. Akhirnya kami kembali pada istilah lokal yang akrab dengan masa kecil kami dan kami rasa itu cocok menggambarkan keadaan kami saat ini.

DSC00348
Meracik resep untuk menu: Mas Dika selain jago balap juga jago masak, kalau aku jago incip-incip aja sih

Mengingat latar belakang kami yang semuanya masih bau kencur soal mengelola usaha, aku mengusulkan nama Pupuk Bawang. Yang kemudian banyak komentar dari orang luar, kok pupuk bawang nanti nggak berkembang karena dianggap pupuk bawang terus. Pupuk Bawang memang dikenal dengan arti orang yang tidak diperhitungkan dan sekedar ikut-ikutan, tapi menurutku saat ini banyak kok orang yang awalanya nggak diperhitungkan malah jadi sukses. Di samping itu, bawang juga salah satu hasil bumi dari Kota Batu. Emang agak dipaksain sih tapi paling enggak, orang harus tahu kalau Batu bukan cuma penghasil apel tapi banyak juga hasil pertanian dari Kota Batu.

In the end of the story, kami bertiga ingin berbagi surga kecil kami, di mana kami biasa menyambut petang hingga menanti fajar, dengan siapa saja yang ingin merasakan gemerlap Kota Batu. Dengan keramahan, kami siap menghangatkan dinginnya Kota Wisata Batu.