Puluhan becak memenuhi Jalan Jaksa Agung Suprapto, Banyuwangi pada Rabu (23/1) lalu. Secara khusus pengemudi becak ini menghadiri slametan serta syukuran Posko Relawan Bolo Anyar. Ganisa Pratiwi Rumpoko, calon anggota DPR RI sekaligus penggagas Relawan Bolo Anyar, menyatakan para pengemudi becak tersebut antusias untuk turut merapatkan barisan demi pemenangan paselon Jokowi Ma’ruf Amin di Banyuwangi. Relawan Bolo Anyar sendiri merupakan kelompok relawan Jokowi Ma’ruf yang dibentuk Ganisa Pratiwi Rumpoko khusus menyasar pemilih milenial.
“Ada banyak barisan relawan pendukung Jokowi. Relawan Bolo Anyar adalah wadah bagi pendukung Jokowi yang secara spesifik menggaet pemilih pemula,” ujar perempuan single yang akrab disapa Ganis ini.
Maraknya hoax, isu SARA, dan negative campaign menjadi fokus yang diusung oleh Relawan Bolo Anyar. Dalam sambutannya, caleg dari PDI Perjuangan nomor urut dua ini berpesan bahwa Relawan Bolo Anyar harus tetap mengedepankan politik santun dalam bersosialisasi dengan masyarakat. “Relawan Bolo Anyar harus turut menjaga kesatuan NKRI di tahun politik ini dengan berpolitik santun baik di dunia maya maupun dunia nyata,” tegas gadis berusia 28 tahun ini. Dengan berpolitik santun, Ganis berharap banyak anak muda yang tertarik berperan aktif dalam pemilihan umum. (Admin)
Beberapa hari ini, saya hanya bisa memendam cemburu pada teman-teman saya yang sedang merayakan wisuda di University of Liverpool. Memori saya langsung flashback pada awal tahun lalu ketika saya mendapat surel yang menyatakan saya diterima di universitas yang terletak di Liverpool, Inggris tersebut. Jadi ceritanya, ketika itu saya lagi keranjingan main game top eleven. Sebuah aplikasi game tentang menjadi manager sepakbola dengan Jose Mourinho sebagai ambasadornya. Saya cukup intens dan bisa dibilang menangan dalam permainan tersebut. Di situ saya merasa, bisa juga nih aku jadi manager bola. Kemudian saya mulai iseng menelusur di internet, siapa tahu ada pelatihan management sepak bola. Dan ternyata, di beberapa universitas luar negeri mempromosikan management olahraga sebagai salah satu jurusannya. Wow!
Iseng-iseng, saya mencoba mendaftar di dua universitas yang memiliki program master sports business: University of Liverpool dan University of Coventry. Keduanya memberikan lampu hijau untuk saya menimba ilmu. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya memutuskan untuk mengambil yang University of Liverpool. Eh, bukan sih, sebenarnya hanya satu pertimbangan yaitu jarak kota Liverpool dan Manchester yang tidak terlalu jauh. Jadi kan saya bisa main-main ke kota sebelah buat nonton MU. Tentu saja orang tua saya mendukung penuh rencana saya menuntut ilmu tersebut meskipun saya disuruh jual mobil sebagai mahar kuliah.
Foto di depan ‘kantor’
September 2017, untuk ke dua kalinya saya menginjakkan kaki di The Black Country. Namun kali itu saya datang dengan segenggam mimpi dan cerita baru akan saya rajut. Dengan visa pelajar yang saya miliki, saya mempunyai kesempatan bekerja dua puluh jam per minggu. Melihat jadwal kuliah yang tidak terlalu padat, saya kira saya harus mengambil kesempatan bekerja tersebut meskipun hanya pekerjaan sambilan. Lumayan untuk bayaran per jam bisa digunakan untuk jalan-jalan atau nonton MU karena ‘sangu’ dari Pupuk Bawang, café tempat usaha saya di Batu yang dikirim tiap bulan hanya cukup untuk jajan dan ngontrak. Pekerjaan yang saya jajaki tidak jauh-jauh dari jurusan yang sedang saya pelajari. Dengan menggali informasi di internet, saya mengetahui bahwa klub-klub sepakbola di Inggris banyak membuka lowongan part time untuk dipekerjakan pada saat pertandingan. Saya melamar sebagai petugas keamanan alias steward di Liverpool FC. Setelah proses seleksi, wawancara, dan pelatihan, saya pun resmi ngantor part time di Anfield Stadium.
Satu setengah tahun ternyata waktu yang cukup singkat namun sarat akan manfaat. Saya masih ingat bagaimana saya harus memaksa diri belajar masak supaya lidah dan perut jawa ini terisi nasi dan sambal (plus biar ngirit). Saya pun tentu akan merindukan puasa yang hampir dua puluh jam lamanya saat Ramadhan jatuh pada musim panas. Bulan Desember 2018, seharusnya saya wisuda bersama teman-teman seangkatan saya yang lainnya. Namun, penugasan saya sebagai calon legislatif RI dari Partai PDI Perjuangan di daerah pilihan Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso membuat saya harus menunda upacara wisuda (atau hanya menerima sertifikat, belum saya putuskan).
Belum sempat foto wisuda, foto waktu mengumpulkan tugas akhir aja ya
Sebagai calon legislatif, saya mengemban tugas untuk banyak bersosialisasi dan silahturahmi dengan masyarakat. Memang masa kampanye pada pemilu yang akan datang ini lebih panjang dari sebelumnya. Untuk saya yang petugas baru sekaligus ditugaskan di daerah baru yang bukan asal saya, tentu saya harus banyak belajar dan beradaptasi. Bagi saya, ditugaskan di daerah pilihan mana tidak menjadi soal karena tujuan awal saya melangkah mengemban tugas ini adalah untuk mengabdi kepada masyarakat. Cukup sudah saya melangkahkan kaki menyusuri sudut dunia. Saat ini, saya ingin pulang, saya ingin mengamalkan ilmu dan mengabdikan diri di Tanah Air. Izinkanlah saya bekerja untuk negeri tempat saya lahir.
Kira-kira begitu jawaban Raras, adikku yang masih berusia enam tahun, ketika kutanya ke mana Papa. Hari itu di Liverpool masih menjelang pukul sebelas siang dan aku baru selesai mencuci pakaian saat kudapati wajah mama kosong sembari mengabarkan tentang Papa. Sebagian dari kalian mungkin sudah membaca berita yang beberapa hari lalu berkeliaran di komen blog ini, berikut celoteh cemooh di sosial media ku. Di tengah persiapan kuliahku yang rumit, kabar dari rumah ini pastinya memakan banyak energi. Maaf jika respon atas berita itu baru sempat kutuliskan sekarang.
Masih ingat betul di kepalaku, hari itu Jumat sekitar pukul lima atau enam sore di Liverpool saat Papa menelpon dengan menggunakan video call. Di Batu sudah hampir tengah malam. Papa menunjukkan Raras yang masih loncat-loncat di tempat tidur dan belum menunjukkan kantuk sama sekali. Percakapan seputar apa saja yang dilakukan dan lain sebagainya. Papa bercerita malam itu dia baru pulang dari Pupuk Bawang dan ingin langsung tidur. Sempat kudengar Papa bilang pada Raras, besok hari Sabtu Raras libur dan bisa ikut Papa jalan-jalan.
Untuk itu, ketika kabar itu sampai di telingaku, yang ada di benakku hanya Raras dan aku langsung coba menghubunginya. Tak langsung tersambung, wajah anak itu baru muncul di layar ponsel beberapa jam kemudian dengan senyum tengilnya. Kutanya bagaimana harinya, hingga kutanya apakah hari itu jadi pergi sama Papa. “Kak, Papa itu lho katanya mau ajak adik ke amongtani liat kelinci, tapi terus langsung pergi sama temen-temennya,” katanya sedikit mengadu. Adikku ini memang suka sekali dengan binatang, kalau sudah besar dia mau jadi penjaga kebun binatang katanya. Hampir setiap sore dia main-main ke Balaikota Amongtani Batu untuk bermain bersama kelinci dengan anak-anak lainnya.
Di sini, aku tidak bermaksud membela siapapun. Aku hanya mencoba menuliskan apa yang selama ini kuketahui dan yang pasti sangat amat terbatas karena aku tidak ada di tempat kejadian dan aku juga bukan ahli hukum. Sebatas yang aku tahu, hari itu, Papa tidak punya agenda pertemuan dengan siapapun dan hanya ingin meluangkan waktu untuk Raras yang sedang galau karena Mamanya mengantarku pindah ke Liverpool. Selanjutnya, aku hanya mendapat kabar ‘katanya’ karena tak mungkin bisa bertanya pada Papa secara langsung.
Hampir sepuluh tahun Papa menjalankan amanat sebagai walikota Kota Batu, tak ada lain semangat yang beliau ceritakan selain agar bisa membantu yang lain.
“Tadi, Dik, Papa jalan ke desa ini, masyarakat di sana semua senang karena jalannya sudah bagus…”
“Kamu lihat foto yang tadi Papa kirim? Itu SD di Batu, kayak sekolah intersional kan? Itu gratis, Dik…”
“Papa tadi ikut panen lho, Dik…”
Kira-kira seperti itu lah cerita Papa kalau lagi meneleponku malam-malam. Aku yang hampir sepuluh tahun ini banyak berada di luar kota, tak pernah absen mendengarkan kisah gembiranya di Kota Batu melalui telepon. Pernah aku bilang ke Papa untuk sesekali isitirahat, paling nggak seminggu ada lah satu hari off dari kegiatan-kegiatan. Mainan sama cucu gitu, mungkin. Ups. Eh, Papa malah bilang, “enggak enak kalau cuma diam saja di rumah, kalau nggak ngantor yang mending jalan-jalan ketemu sama warga, ngobrol-ngobrol.”
“Kamu sudah di rumah ini, Dik?”
“Iya lah, Pa, sudah ngantuk,”
“DJ nya siapa yang main?”
“Iya Pa, bentar lagi pulang,”
*OOT dikit ya, bukan OTT*
Pastinya, peristiwa ini sangat seksi untuk diulas dengan bumbu-bumbu manis getir mengundang nafsu klik bait. Dari hampir sepuluh tahun, pernahkah ada judul berita media daring semacam: “Mengejutkan, Sekolah Di Kota Batu Gratis, Siapa Mau Pindah Ke Sini” atau “Enggak Sengaja Hamil? Tenang! Biaya Persalinan Di Kota Batu Gratis lho Ibu-Ibu”? Kalau ada, sepertinya tak akan banyak mengundang apresiasi, begitu di klik, tutup lagi, nggak di-share, nggak komen ke akun personal yang bersangkutan dan keluarga. Beda dengan berita OTT seperti kemarin yang meski tulisannya minim data, bahkan cuma salin tempel akun sosmed (enggak kaget juga sih kalau ada yang ngutip tulisan ini cuma sebagian tanpa konteks terus diberi judul melenceng jauh), langsung banyak menuai komen, share, dan kecaman personal. Aku tidak ingin menyalahkan jurnalis zaman now atau warganet karena memang lebih mudah membicarakan keburukan dari pada mengingat kebaikan. Namanya juga lyfe.
Eh, enggak sepenuhnya betul juga sih. Enggak sedikit juga yang menyampaikan dukungan lewat apapun. Mereka yang bersimpati menuliskannya dengan detail segala kinerja nyata yang telah dirasakan. Sangat disayangkan, aku tidak sampai hati membacanya secara utuh. Kuucapkan terimakasih dan mohon doa untuk segala prosesnya.
Di tulisan yang lain (yang mendadak banyak komen dan share), aku menyebutkan bahwa aku fans-nya KPK. Bagaimana sekarang? Sikapku masih sama, aku mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Ketika peristiwa cicak vs buaya, kerap kali aku turun ke jalan bersama kawan-kawan yang lain untuk mendukung KPK yang terus menerus dikriminalisasi. Yang aku tahu ketika itu, KPK adalah lembaga negara yang di dalamnya terdapat banyak negarawan arif nan bijaksana. Pernah kulihat di televisi, cara kerja KPK yang heroik seperti FBI dan semua bukti penyidikannya dilaporan secara transpran. Kuharap, dalam kasus ini, KPK masih seperti yang saat kudukung di foto ini. Foto yang sempat menjadi profil picture Papa dan Mamaku.
Halo kalian yang terpaut hampir satu dekade denganku. Pasti kalian lagi senang-senangnya bawa kendaraan sendiri dengan surat ijin mengemudi yang nggak perlunembak umur, bisa nonton konser yang disponsorin rokok atau beer, dan masih banyak keseruan lainnya. Yeah apapun keseruan kalian sebagai manusia yang sudah diakui dewasa oleh negara, aku cuma mengingatkan: gunakan hak pilih kalian hari ini.
Jujur aku suka sirik sama kalian. Iya, kalian yang lahir setelah tahun 97-98. Rasanya enak betul masa kecil kalian. Enggak perlu kepotong dunia dalam berita pas lagi enak-enaknya nonton tipi, bisa banyak nonton saluran tipi, dan yang paling penting: potret presiden yang terpajang di atas papan tulis ruang kelas kalian bisa gonta-ganti meskipun nggak tiap lima lima tahun. Hebat nggak? Bayangin om-tante atau orang tua kalian, dua belas tahun sekolah hanya memandang foto yang sama menjenuhnya dengan mencari nilai X dalam aljabar.
Eh tapi, ada ding yang bikin kami merasa sedikit lebih beruntung dari pada kalian. Waktu kecil kami nggak perlu lihat keluarga kami, orang tua kami, tetangga kami, jadi sirik-sirikan karena beda pilihan. Enggak ada itu ceritanya acara mantenan keluarga atau bahkan lebaran jadi tegang dan kikuk gara-gara ada yang tiba-tiba jadi jurkam dadakan. Enggak ada itu yang namanya dilarang pacaran gara-gara keluarganya gebetan kita dianggap pendukung pemimpin kafir. Dulu, orang yang lebih tua dari kami seperti sudah sama-sama mencapai mufakat meski tanpa berucap kalau yang menang ya yang kuning itu, jadi nggak perlu ribut-ribut apalagi sampai satru sama tetangga kanan kiri.
Meskipun sekarang generasi di atas kalian begini amat soal pilihan pemimpin, tapi kalian nggak perlu khawatir juga sih. Kalau sekarang kakak-kakak, om dan tante, atau orang tua kalian suka ribut masalah beda pilihan, ya harap maklum ya, mereka kan anak kemarin sore dalam hal demokrasi. Dulu-dulu pas mereka seumur kalian sekarang gini, mana berani mereka nyinyir sana sini kayak sekarang. Kalian beda. Sejak lahir ke Tanah Air, kalian sudah menghirup udara kebebasan. Udara yang dinantikan banyak kaum muda beberapa puluh tahun yang lalu. Udara yang waktu dulu aku lihat melalui berita di tipi, diperjuangkan dengan keringat dan darah.
Hari ini dan esok ada di tangan kalian, jadi plis jangan apatis. Jangan ragu membuka masa lalu untuk membimbing ke masa depan. Gunakan hak pilihmu sekarang!
Hasil perhitungan sementara pilkada walikota Batu telah diumumkan. Paselon dengan nomor dua dinyatakan sebagai pemenang dengan perolehan lebih dari empat puluh persen. Dewanti Rumpoko, mamaku, dan wakilinya, Punjul Santoso, berhasil mengalahkan tiga kandidat lainnya dalam gelaran pilkada serentak di Indonesia. Itu berarti, di tahun 2018, mamaku akan menggantikan papaku, Eddy Rumpoko, yang sudah dua periode menjabat sebagai Walikota Batu sampai Desember 2017 nanti. Iya, politik dinasti, tapi aku sedang tidak bermaksud membahas itu, eh nggak tahu juga ya kalau nanti nyerempet. Di sini, aku hanya ingin cerita pengalamanku sebagai ‘pemilih pemula’ dalam pilkada Batu.
Bisa dikatakan dalam perhelatan pilkada Kota Batu, aku adalah pemilih pemula. Bukan karena usiaku yang baru tujuh belas atau baru dapat KTP. Aku sudah pernah tiga, empat, atau lima kali nyoblos: presiden, gubernur, walikota Malang, dan legislatif. Untuk walikota Batu, ini pertama kalinya. Tahun 2007 lalu, saat aku baru punya KTP, papaku menyalonkan diri sebagai walikota Batu. Meski sudah punya hak pilih, sayangnya aku tak bisa ikut memilih karena KTP-ku masih KTP Malang. Sementara di periode selanjutnya, saat aku sudah ber-KTP Kota Batu, gelaran pilkada belum serentak seperti sekarang. Aku yang saat itu bekerja di Jakarta tidak bisa pulang karena tidak ada libur nasional. Praktis tahun ini, aku baru bisa menggunakan hak pilihku untuk menentukan nasib Kota Batu lima tahun ke depan.
Ayo lah Pak kan sudan waktunya
Pilkada yang tahun ini serentak jatuh sehari setelah valentine. Dengan sangat terpaksa, aku harus sudah berada di kampung halaman tepat di hari valentine dan mengikhlaskan tidak merayakan hari kasih sayang bersama entah siapa. Di keluargaku, hari coblosan itu keramat, lebih keramat dari pada hari lebaran. Seperti hari-hari coblosan yang lalu, kami sekeluarga (aku, mama, dan papa) melekan, tidak tidur sampai subuh karena mama dan papa pengajian dan sholat tahajud, sedangkan aku menemani sambil ngecek timeline. Kemudian beberapa jam lagi sudah harus bangun untuk mandi, berdandan serapi mungkin, dan pergi ke TPS bersama-sama. Setelah dari TPS pun, kami tidak bisa kembali tidur: ngobrol-ngobrol tentang prediksi sambil melihat hasil perhitungan sementara, kadang-kadang keliling ke TPS lain. Siapa pun yang menjago, itu semua tetap kami lakukan.
Dalam pilkada ini, jujur aku agak grogi saat perjalan ke TPS. Selain karena sebagai pemilih pemula dalam memilih walikota Batu, aku juga grogi karena ini pertama kalinya aku akan nyoblos orang tuaku sendiri yakni mamaku yang saat ini nyalon sebagai walikota. Tahun sebelumnya, mama pernah menyalonkan diri sebagai bupati Malang. Lagi-lagi, aku tidak ikutan nyoblos karena tidak ber-KTP di daerah tersebut. Kenapa begitu? Setiap akan ada coblosan, aku selalu menimbang-nimbang dulu mana yang benar-benar aku pilih dari latar belakang partai pengusung, visi misi, dan semuanya itu. Meski dulu waktu awal-awal bisa nyoblos (tahun 2008), nggak ada calon yang benar-benar pas tapi aku usahakan buat nggak golput. Yeah, walaupun terus banyak nyeselnya. Banyak temen-temen seumuran yang bilang, “halah udah golput aja, nggak suka aku politik-politikan, sama aja juga nggak bakal ngapa-ngapain,”
dan terus aku jawab dengan,
“udah ya nggak usah milih? Nanti kalau cari beer susah, bikin band-band-an izinnya dipersulit atau diskusi film dibubarin jangan protes ya…”
Kembali ke rasa grogi saat akan menyoblos orang tua sendiri. Jangan dikira mentang-mentang mamaku sendiri yang nyalon terus langsung aku pilih. Enggak dong! Agak sulit memang menilai secara obyektif visi misi dari keempat pasang calon wali kota di Batu tahun ini mengingat salah satu calon adalah keluarga sendiri. Apalagi di periode sebelumnya, yang menjabat sebagai walikota juga keluarga yang mana mereka ini pasangan suami istri yang juga orangtua kandungku. Sama seperti kalian, isu politik dinasti juga sempat membuat aku ragu. Konon katanya, politik dinasti ini adalah jalan menuju perilaku korupsi yang mana sangat aku benci karena aku ngefans sama mantan Ketua KPK yang manis itu.
Sebelum termakan oleh mitos politik dinasti itu, aku mencoba mencerahkan pandanganku dengan mencari tahu apa sih motivasi mama ikutan nyalon sebagai walikota Batu. Apakah sekedar menjalankan mandat? Rupanya tidak. Sepengetahuanku, mama sudah aktif di politik sejak simbol dua jari masih milik golkar dan PDI belum perjuangan. Sewaktu SD aku sering nyindir mama dengan lagu Iwan Fals, “untukmu yang duduk sambil diskusi, untukmu yang biaas bersafari, di sana di gedung DPR,” karena memang kala itu mama ngantornya pakai safari dan di gedung DPRD Kota Malang.
Jadi kurasa politik itu memang sudah jadi minat mamaku sejak masih jadi mama muda. Oh iya, mama juga pernah njago walikota Malang dan waktu itu sempat dikabarkan papaku juga njago lewat partai yang berbeda. Tapi, itu bukan berarti mama sebagai istri ngelunjak pada suami ya, memang kita keluarga demokrasi yang nggak saling nyinyir kalau beda aja. Anyway, itu semua meyakinkanku bahwa dalam pilkada Kota Batu ini mama bukan sekedar ikut-ikutan, disuruh, atau apalah itu. Ada visi misi yang ingin dicapai agar Kota Batu semakin berkilau. Perihal kekhawatiran terkait politik dinasti, kurasa bukan hanya karena Ketua KPK yang ganteng saja, aku jadi benci korupsi, tapi juga doktrin dari orangtuaku terutama mama yang mengajarkanku untuk tidal kedonyan.
Malaikat juga tahu…
Di lain sisi, teman-teman yang memiliki hak pilih di Kota Batu pun memiliki kepercayaan yang besar pada mama. Jika tidak, nggak mungkin kan perhitungan cepat beberapa lembaga survey menyatakan kemenangan telak. Jadi sebagai pemilih pemula untuk walikota Batu, aku berdoa semoga pilihanku bermanfaat untuk semuanya. Terakhir, aku ingin menyampaikan terimakasih kepada pemilih di Kota Batu. Bukan karena telah memenangkan mamaku tapi karena telah memilihku kembali menjadi anak walikota Batu yang sudah dua periode ini kuemban.
Paska galau yang tak kunjung reda beberapa waktu lalu, saya mengisinya dengan bantuin Mama cari suara. Tanggal 9 Desember 2015,ujug-ujug ada libur nasional baru dalam rangka pilkada serempak di Indonesia. Kebetulan, Mama saya nyalon jadi bupati Kabupaten Malang. Cukup kaget sih, biasanya Mama nyalon di Rudi Hadisuwarno atau Jhonny Andrean eh sekarang di Kabupaten Malang. Krik!
Saya yang nggak tertarik politik ini sih awalnya cuek-cuek saja. Tetap menjalani hidup sebagai pengangguran bermartabat seperti biasa. Selama tiga bulan, saya melihat Mama saya sibuk banget ke sana ke sini. Bangun jam enam pagi dengan semangat, pulang jam sebelas malam masih tetap semangat. “Ketemu banyak orang, tempatnya jauh di sana… Seru deh! Coba kamu ikut…” ceritanya menggebu selepas pulang blusukan. Lain halnya dengan Papa, beliau nggak kalah sibuknya dengan Mama cuma bedanya Papa agak ngawur. Lha iya, pagi sampai malam, Papa masih bekerja sebagai walikota. Eh lha kok tengah malam sampai subuh, malah melanjutkan blusukannya Mama. Bukan sekali dua kali, saya mendapati wajah Papa kecapekan dan badannya demam.
Politik apaan sih?
Melihat Mama Papa yang so sweet kompak dan gigih, rasanya egois kalau saya cuma jadi penonton. Sementara saya cuma sibuk ngetrap-ngetrip nggak jelas demi beberapa foto yang akan diposting di instagram dengan harapan menuai banyak like dan komentar. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk ikut blusukan bantu Mama cari suara. Bukan hal gampang memang menulusuri setiap bagian Kabupaten Malang yang memiliki tiga puluh tiga kecamatan. Kalau biasanya saya ke daerah Kabupaten Malang buat nonton Arema di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen atau ke pantai-pantai di Sumawe, kali ini saya harus mblusuk untuk menyapa teman-teman di sana. Selain jauh, jalannya pun banyak yang berlobang (meski ada beberapa nampak baru diaspal). Saya merasakan sih bagaimana capeknya Mama dan Papa yang sudah berminggu-minggu.
Suguhan di #MalangAnyar
Tapi, rasa capek itu selalu sirna setiap kali saya datang bertamu dan bertemu teman-teman di Kabupaten Malang. Senyum hangat dan teh yang nasgitel (panas, legi, kentel) selalu disuguhkan pada saya. Belum lagi, saya dipaksa-paksa untuk makan. Meski sudah makan di desa sebelumnya, saya nggak bisa nolak untuk tetap menyantap menu istimewa yang khas: nasi jagung dan kulupan. Lemak nambah nggak peduli deh! Belum lagi mendengarkan cerita mereka yang menarik. Tentang teman-teman Karang Taruna yang hobi jaran kepangan tapi nggak pernah momen untuk tampil. Tentang ibu-ibu yang sambat katanya sekolah gratis tapi kok ya masih ada uang yang harus keluar untuk sekolah anaknya.
Jaran Kepangan
Rupanya segala kehangatan ini yang menjadi kekuatan Mama dan Papa untuk ingin terus melayani. Pada hari pemilihan, Mama gagal mendapatkan suara terbanyak dengan selisih sekitar lima persen dari lawannya yang incumbent. Agak kesel sih, tapi Mama memang orangnya selalu legowo, “semua sudah jalannya,” katanya yang membuat saya dan tim pemenangan lainnya ikhlas. Bagi saya pribadi, pemilihan umum bukan melulu soal kalah menang. Bertemu orang baru yang kemudian menjadi teman baru dan saling berbagi energi positif jauh lebih berharga dari sekedar kata menang.
Terimakasih untuk pendukung #MalangAnyar, semoga kita masih dapat melanjutkan silahturahmi di kesempatan selanjutnya. Untuk yang menang, selamat ya semoga amanah!
PS: Ditulis tanggal 13 Desember 2015, tepat di hari ulang tahun Mama. Selamat ulang tahun, Ma!