KOTA KECIL ITU KINI SEMAKIN BERKILAU LEWAT SEBUTAN KOTA WISATA BATU

 

Seperti pada sore-sore sebelumnya, sore itu aku dan dua saudara sepupuku, Dika dan Arto melakukan ritual nyore kita. Sehabis lari sore di kaki Gunung Panderman, tepat pukul empat lewat dikit di rumah kosong bekas kantor punya papaku di Kota Batu. Di belakang rumah bergaya kolonial itu, ada halaman yang lumayan besar dengan pemandangan hamparan perkebunan sayur plus pegunungan. Di sore hari, kami bisa meliha orang-orang yang sedang main paralayang di Gunung Banyak. Rumah yang berlokasi di Jalan Panglima Sudrirman, Batu itu saat itu menjadi markas mendadak kami.

Di sana, kami yang kini mendadak jadi Arek Batu, sering berdiskusi apa saja sambil menikmati matahari yang mulai berpamitan. Tak jarang embun putih menyapa kami yang sedang tipis-tipis enak. Kami yang baru kemarin sore pegang KTP Batu, masih terbuai dengan udara Kota Batu yang seolah terus-terusan ngajak kelon.

DSC00045
Nyore dengan pemandangan seperti ini. Syurga dunia!

“Ngapain sih, Ka, kok kamu tiba-tiba pindah ke Batu? Bukannya udah enak ya di Jakarta? Mau ngapain juga di Jakarta ada. Kamu juga lebih enak kan kalau ada balap-balap gitu. Aku aja nih yang kemarin seminggu di Malang udah mati gaya, padahal di Malang lho ya yang masih ada bioskop masih ada tempat duduk gemetar alias dugem,” cerocosku membuka obrolan sore itu. Dika memang hobi balap dan kerap menyabet berbagai juara dari situ (memang nggak sengetop Rio Harianto sih tapi nggak kalah ganteng lho coba aja kepoin IGnya @dikachampion).

“Wuih bukan main Mbak Ganis mantan anak gaul Jogja. Yang tiap Rabu gaul di mana tuh?” sahut Arto sedikit membuka earphone yang nangkring di telinganya.

“Nah, justru itu, Nis! Di Jakarta semuanya sudah ada. Nah, kalau yang kamu cari di sini nggak ada, gimana caranya kita bikin ada!” jawab Dika. Aku cuma manggut-manggut padahal bingung.

Matahari sudah benar-benar meninggalkan kami yang masih asyik cerita-cerita, meski sebenarnya topiknya mulai ngelantur. Nah, ketika malam tiba, pemandangan Kota Batu dari markas kami semakin keren. Lampu-lampu kota semakin terlihat, langit dengan gemerlap bintangnya. Duh, pokoknya sudah kayak Meteor Garden lah. Kami pun tak mau kalah keren dengan mencoba mengimbanginya, Arto yang suka betul dengan musik dan lagi belajar DJ memutar lagu-lagu andalan dari laptop yang disambung ke speaker kesayangannya. Dinginnya Kota Batu di malam hari yang setara dengan suhu AC itu berbaur dengan suasana yang hangat.

DSC00179Aku dan Arto: Mulai anget

Cantiknya Kota Batu kurasa tak jauh berbeda dengan ketika dulu aku kecil. Lahir dan besar di Malang, sebelum Malang penuh dengan berbagai tempat nongkrong dan mall, tempat yang paling asyik buat malam mingguan ya ke Batu. Sewaktu remaja, zaman baru bisa bawa sepeda motor, pasti aku dan teman-teman dan pacar (yang sekarang sudah mantan) kalau weekend ya nongkrongnya di Songgoriti, di Payung lho maksudnya, bukan Gang Macan. Apalagi waktu itu lagi happening novel Dealova yang di latar cerita ada tempat namanya Bukit Bintang. Jadilah, pokoknya kalau mau pacaran yang romantis ya ke Batu biar macam di novel itu. Tapi masa iya sih aku yang sekarang, yang sudah kecampur gaya hidup kekinian weekend­-nya nongkrong di Payung kayak dulu, makan indomie, sama jagung, sama minum kopi susu sasetan.

“Coba kalau di sini ada lounge kayak di Bali-bali gitu tapi pemandangannya gini,” gumamku.

“Point tuh!” Dika menimpali.

Siapa yang ngegolin? Bukan, maksud Dika itu adalah sebuah ide brilliant yang niscaya akan membuat hari-hari kita lebih bermanfaat dari pada sekedar ngabisin beras di rumah. Mulanya, aku ragu, memang bakal laku begituan di sini. Kebetulan diskusi itu terjadi di hari Sabtu, di mana jalanan di Kota Batu padat merayap menjurus ke arah macet. Sebutan kota wisata rupanya bukan sekedar embel-embel saja. Hampir sepuluh tahun terakhir pariwisata di Kota Batu terus meningkat. Kalau macet di Jakarta penuh malapetaka, bisa dibilang macet di Kota Batu penuh berkah karena itu berarti banyak pedagang-pedagang dari yang kecil sampai yang besar kecipratan senangnya.

Ada banyak orang dari luar kota yang datang ke Batu untuk berwisata, rasanya rugi besar kalau aku yang sedari kecil hangout di Batu nggak bisa turut menjamu mereka.

Kurang lebih tiga bulan, kami bertiga mempersiapkan tempat di mana orang-orang bisa menikmati gemerlap Kota Batu. Markas kami yang semula hanya bangunan tua yang penuh dengan barang-barang antik, kami sulap menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk sekedar bersantai bersama teman-teman atau melepas lelah dan mengisi perut setelah seharian berekreasi di Kota Batu. Kami sempat bingung memberi nama tempat ini. Dari nama-nama tumbuh-tumbuhan sampai nama binatang, dari bahasa Inggris sampai latin yang kami sendiri nggak ngerti artinya. Akhirnya kami kembali pada istilah lokal yang akrab dengan masa kecil kami dan kami rasa itu cocok menggambarkan keadaan kami saat ini.

DSC00348
Meracik resep untuk menu: Mas Dika selain jago balap juga jago masak, kalau aku jago incip-incip aja sih

Mengingat latar belakang kami yang semuanya masih bau kencur soal mengelola usaha, aku mengusulkan nama Pupuk Bawang. Yang kemudian banyak komentar dari orang luar, kok pupuk bawang nanti nggak berkembang karena dianggap pupuk bawang terus. Pupuk Bawang memang dikenal dengan arti orang yang tidak diperhitungkan dan sekedar ikut-ikutan, tapi menurutku saat ini banyak kok orang yang awalanya nggak diperhitungkan malah jadi sukses. Di samping itu, bawang juga salah satu hasil bumi dari Kota Batu. Emang agak dipaksain sih tapi paling enggak, orang harus tahu kalau Batu bukan cuma penghasil apel tapi banyak juga hasil pertanian dari Kota Batu.

In the end of the story, kami bertiga ingin berbagi surga kecil kami, di mana kami biasa menyambut petang hingga menanti fajar, dengan siapa saja yang ingin merasakan gemerlap Kota Batu. Dengan keramahan, kami siap menghangatkan dinginnya Kota Wisata Batu.

Ketika ‘Cah Kekinian’ ke Tanah Suci

Tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menginjakkan kaki di Tanah Suci. Sebagai ‘cah kekinian’, mungkin menjelajah kota-kota di Eropa lebih sexy dibanding ke Arab Saudi yang identik dengan ‘jika sudah tua saja’. Namun, tantangan lain maenad saya untuk ziarah ke negeri 1001 malam tersebut. Perjalanan ini, saya lakukan akhir Januari 2014 lalu bersama keluarga.

Berangkat dari Bandara Soekarno Hatta dini hari dengan pesawat Emirates Airlines, saya tiba di Jedah pada siang menjelang sore hari keesokan harinya setelah sebelumnya transit di Dubai, Uni Emirat Arab. Memasuki tanah Arab Saudi, saya sudah harus menutup kepala dengan jilbab dan dekat-dekat dengan Bapak (atau suami bagi yang sudah menikah), ini khusus untuk perempuan di bawah empat puluh tahun. Meskipun kota Jedah ini lebih terbuka dan bukan termasuk tanah haraam, di sini non-muslim masih bisa berkunjung, tapi jangan sekali-kali membawa minuman beralkohol atau Anda akan berurusan dengan petugas keamanan bandara. Setelah sedikit melepas lelah, saya pun melanjutkan perjalan ke Madinah dengan menggunakan bus.

 

Suatu Taman di antara Taman-taman Surga

IMG_6739

Kurang lebih delapan jam, bus yang saya tumpangi berhenti. Hari sudah larut malam, mungkin menjelang subuh. Saat saya keluar dari bus, hawa dingin langsung menyerang tubuh saya. Tidak seperti lagu Aladin, “malam di Arab, seperti siangnya, panas tak terhingga…” bulan Januari ternyata musim dingin di Arab. Namun, dinginnya malam itu tak seberapa saya hiraukan kala melihat di depan saya terdapat bangunan besar dan megah. Ya itu Masjid Nabawi. Penginapan tempat saya menginap memang berada tepat di hadapan masjid yang dibangun Nabi Muhammad itu. Setelah meletakkan barang, saya pun langsung menuju masjid, penasaran ada apa di dalamnya. Lagi pula, saat itu jam menunjukkan pukul setengah empat, tak lama lagi waktu sholat Subuh.

IMG_6665

Ternyata dalamnya memang indah, ornamen khas Timut Tengah menghiasi setiap sudutnya. Tembok-tembok masjid seluas 135.000 m2 berjajar Al-Qur’an yang bisa digunakan jama’ah yang datang. Menjelang waktu sholat subuh, masjid mulai dipenuhi jama’ah. Di luar masjid, tentu di sediakan tempat sholat yang tak kalah nyaman, tapi tak sedikit jama’ah yang ingin sholat di dalam masjid sehingga yang sudah terlebih dahulu di dalam harus tersesal yang baru datang dan ingin sholat di dalam.

IMG_6726

Setelah sholat subuh usai, keluar masjid, para pedagang pun berderet memenuhi jalan depan masjid. Kebanyakan dari mereka menjajakan pakaian wanita bergaya Arab. “Sepuluh real tiga… sepuluh real tiga,” ucap para pedagang asli Arab ini dengan Bahasa Indonesia. Tak heran jika banyak pedagang Arab yang jago berbahasa Indonesia, hampir setiap hari ada saja orang Indonesia yang datang dan umumnya jemaah yang hobi belanja berasal dari Indonesia. Sekitar Masjid Nabawi ini memang penuh dengan tempat berjualan, baik di toko maupun yang hanya menggelar barang dagangannya di jalan.

Siang hari, saya berkunjung ke Raudlah. Sebelum saya berangkat ke Tanah Suci, banyak orang-orang yang menitip doa untuk didoakan di tempat ini. Saya kira, kenapa harus di sini, kenapa tidak berdoa saja di rumah masing-masing. Ternyata, Raudlah yang artinya taman surga diyakini jika berdoa di tempat ini akan dikabulkan Sang Pencipta. Benar saja, banyak yang berebut untuk masuk ke tempat ini, berdesak-desakan bahkan saling dorong agar bisa sampai ke tempat tersebut.

IMG_6696

Setelah berdesak-desakan di Raudlah, saya menyempatkan diri mampir di KFC yang terdapat di depan Masjid Nabawi. Tempat ini lah andalan saya ketika sudah bosan makan kambing.

 

Cahaya untuk Dunia

IMG_6804

Setelah beberapa hari di Madinah, akhirnya saya tiba di Makkah. Sebelumnya, saya sempat mampir ke masjid Bir Ali, masjid yang indah ini merupakan tempat mengambil miqot para jamaah haji dan umroh. Kota Mekkah sangat ramai pada saat saya datang. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun tetap saja masih tampak banyak orang yang berlalu lalang. Begitu tiba di Makkah, saya langsung menuju Masjidil Haram, masjid yang menyimpan bangunan suci Ka’bah yang menjadi kiblat seluruh umat muslim di dunia.

IMG_6833

Tak sulit untuk menuju Masjidil Haram dari tempat saya menginap. Itu karena tempat saya menginap berada di atas bangunan yang mengitari masjid tersebut, bahkan dari jendela kamar hotel saya sudah bisa melihat bangunan yang dipercaya oleh umat muslim sebagai tempat ibadah kepada Allah yang didirikan pertama kali. Sayang, ketika saya berkunjung ke tempat tersebut, area sekitar Ka’bah sedang direnovasi total. Kabarnya, pembangunan ini baru akan selesai pada tahun 2020. Selama saya berada di Makkah, hampir setiap hari area Ka’bah penuh dengan jemaat yang melakukan tawaf, tak peduli siang dan malam. Sepertinya, dua puluh empat jam penuh area sekitar Ka’bah selalu sibuk. Tak heran jika pernah ada yang memotret dengan satelit, kota Makkah tampak sangat bersinar saat malam hari.

IMG_6894

Tak jauh beda dengan Masjid Nabawi, sekitar Masjidil Haram pun dipenuhi pedagang yang menjajakan dagangannya. Bedanya, jika di Masjid Nabawi lebih tampak seperti pasar, sekitar Masjidil Haram telah tertata dengan didirikannya pusat perbelanjaan atau yang umum kita sebut dengan mall. Ya Arab memang terkenal dengan perdagangannya. Mulai barang-barang khas Arab, hingga merek-merek dunia seperti Giordano, Starbuck, Mothercare juga tersedia di sini. Saat waktu sholat, jika area masjid sudah penuh, tak jarang area perbelanjaan ini dijadikan tempat untuk sholat karena letaknya yang bisa dikatakan menyatu dengan halaman masjid.

IMG_6866

Di Makkah, saya juga menyempatkan diri mengunjungi Jabal Rahma di Padang Arafah. Ini tempat yang saya tunggu-tunggu untuk dikunjungi. Tempat ini, konon tempat bertemunya Adam dan Hawa. Jika berdoa meminta jodoh di sini, niscaya tak lama akan menemukan jodohnya. Tak heran di bebatuan sekitar Jabal Rahma banyak coretan nama-nama pasangan yang mungkin berharap menjadi pasangan selamanya. Saya sudah membawa serentetan daftar nama dari teman-teman, baik yang jomblo maupun yang sudah punya pacar dan berencana menikah dalam waktu dekat. Setelah berdoa dan membacakan daftar nama teman-teman (dan saya sendiri), daftar tersebut saya selipkan di bebatuan yang ada di sana. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat saya masih berstatus lajang.

Menjelajah Pesona Alam Kota Wisata Batu

Kira-kira sejak tahun 2008, kota Batu, Jawa Timur, mendapat julukan sebagai kota wisata. Bisa dikatakan, kota yang awalnya kota administratif dari Malang ini menjadi jantung pariwisata di Jawa Timur. Ini terbukti dari padatnya wisatawan yang datang pada saat akhir pekan dan liburan sekolah. Bahkan kini, banyak hotel-hotel baru dari berbagai kelas dan rumah makan dengan bermacam hidangan. Tentu ada banyak hal yang bisa Anda lakukan saat berkunjung ke kota yang terkenal dengan apel hijau yang khas ini. Salah satunya menjelajah keindahan alam di kota yang terletak di dataran tinggi ini.

Menyusuri Hutan Alami sembari Mencari Coban Talun

Ada beberapa air terjun yang bisa Anda kunjungi saat berwisata ke Batu. Untuk Anda yang sangat suka menjelajah alam, Coban (air terjun) Talun sangat pas untuk didatangi. Air terjun ini terletak di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, tak terlalu jauh dari pusat kota Batu. Anda bisa menaiki kendaraan pribadi menuju ke arah Pemandian Selekta yang sudah cukup terkenal. Di kiri jalan utama akan ada papan petunjuk lokasi air terjun ini. Memasuki gerbang air terjun, seorang petugas memberikan karcis masuk sebesar lima ribu per orang. Tak jauh dari gerbang masuk inilah, batas terakhir kendaraan dapat melintas. Selebihnya, tentu kita harus berjalan kaki. Di area ‘parkir’ kendaraan ini, atmosfer air terjun yang sejuk sudah terasa dengan pepohonan hijau yang terhampar di setiap mata memandang. Di sini, masih nampak masyarakat yang berlalu lalang di sekitar area ini, maklum tak jauh dari hutan terdapat ladang pertanian yang menghasilkan kentang, sayuran, dan tentu saja apel khas Kota Batu.

Masyarkat Sekitar Coban Talun
Sebagian besar masyarakat Kota Batu bekerja di ladang, begitu pula masyarakat sekitar Coban Talun. Di area pemberhentian kendaraan, akan dijumpai masyarakat yang lalu lalang membawa hasil bumi.

 

Untuk menuju ke air terjun ini, sebaiknya Anda menggunakan pakaian yang menyerap keringat, celana pendek, sandal,dan membawa bekal air minum. Ini karena, di awal perjalanan kita sudah akan disambut sungai dangkal dan harus dilalui tanpa jembatan. Setelah melewati sungai tersebut, baru lah berjalan menyusuri hutan pinus yang sejuk. Banyaknya pohon-pohon yang rindang ini akan membuat perjalanan yang memakan waktu sekitar empat puluh lima menit ini tidak terasa. Namun, tetap harus waspada, karena jalan setapak menuju air terjun ini naik-turunnya cukup terjal dan licin. Hutan di sekitar air terjun ini masih sangat alami. Jika beruntung, Anda akan bertemu dengan kawanan monyet atau ayam hutan.

Coban Talun dipenuhi bebatuan besar yang membuatnya tampak seperti kolam
Coban Talun dipenuhi bebatuan besar yang membuatnya tampak seperti kolam

Perjalanan yang panjang tersebut tak lama akan terbayar dengan melihat keindangan Coban Talun. Dengan ketinggian sekitar 75 meter ini, Coban Talun memiliki batu-batu besar yang menjadi jalan air menuju ke bawah sehingga seperti membentuk kolam-kolam batu. Melihatnya, membuat kita yang datang sangat ingin berenang menyelami beningnya air. Di balik air terjun juga terdapat goa kecil yang konon merupakan peninggalan Jepang.

Dengan ketinggian mencapai 75 meter, kita dapat merasakan percikan air yang segar bila berdiri di seberangnya.
Dengan ketinggian mencapai 75 meter, kita dapat merasakan percikan air yang segar bila berdiri di seberangnya.

Melihat Batu dari Langit

Tak perlu takut akan ketinggian jika ingin terbang dengan paralayang, instruktur yang berpengalaman siap tandem bersama Anda
Tak perlu takut akan ketinggian jika ingin terbang dengan paralayang, instruktur yang berpengalaman siap tandem bersama Anda

Setelah lelah menyusuri Coban Talun, saat matahari mulai turun, Anda bisa bersantai sejenak di Gunung Banyak. Sebenarnya, tempat ini merupakan bukit yang terletak di tempat yang tinggi, sehingga dari atas bisa melihat pemandangan kota. Untuk menuju ke tempat ini, Anda bisa dengan menggunakan kendaraan menuju ke arah Desa Songgoriti. Tempat ini sehari-hari digunakan sebagai tempat untuk terbang dengan paralayang. Dengan harga tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Anda bisa memacu adrenalin dengan terbang di atas Kota Batu. Jangan khawatir karena tentu ada tentor berpengalaman yang akan menemani Anda melaju di udara. Untuk Anda yang suka narsis, Anda bisa selfie sembari terbang dengan aman, karena disediakan monopot yang memang digunakan untuk paralayang.

Ingin merasakan penginapan yang berbeda? Cobalah menginap di Omah Kayu di Gunung Banyak yang tak jauh dari area Paralayang
Ingin merasakan penginapan yang berbeda? Cobalah menginap di Omah Kayu di Gunung Banyak yang tak jauh dari area Paralayang

Jika Anda tidak ingin terbang, Anda bisa duduk di atas bukit ini sembari menikmati jajanan yang dijajakkan. Jagung bakar dan segelas kopi susu bisa menjadi teman Anda saat menikmati matahari tenggelam dari tempat ini. Setelah lelah seharian berkelana di Kota Batu di area Gunung Banyak juga bisa untuk menginap. Anda bisa mencoba merasakan sensasi baru dengan menginap di Omah Kayu yang terletak di Gunung Banyak, tak jauh dari lokasi paralayang. Penginapan yang ini memiliki kurang lebih empat kabin yang terbuat dari kayu dan tergantung dari pohon. Bayangkan, di pagi hari Anda terbangun di atas pohon dengan matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya. Untuk menginap di tempat ini Anda akan dikenakan biaya tiga ratus ribu per malam. Bilik yang tersedia memuat paling banyak tiga orang. Penginapan ini sangat tepat untuk Anda yang ingin mengambil gambar saat matahari terbit.

Meraba Peruntungan di Gunung Kawi

Dengan kekuatan kepercayaan spiritual dan sejarahnya, Gunung Kawi menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Gunung Kawi terletak di sebelah barat kota Malang, tepatnya berada di kecamatan Wonosari, kabupaten Malang, Jawa Timur. Ketinggian Gunung Kawi mencapai 2551 meter. Pesona Gunung Kawi terdapat karena kepopulerannya sebagai tempat sembayang bagi dua etnis sekaligus, yakni etnis tionghoa dan jawa. Puncak keramaian Gunung Kawi akan terasa pada saat Tahun Baru Cina (Imlek) dan Tahun Baru Jawa (Suro). Pada Imlek tahun 2012 (23/1), saya berkesempatan untuk singgah ke Gunung Kawi.

Mendaki Penuntut Nasib; Di Gunung Kawi ini terdapat Kuil Kuan Im yang digunakan untuk sembayang secara Kong Hu Cu. Selain itu terdapat juga ritual giam si yang dipercaya dapat membaca peruntungan atau nasib. Bagi orang Jawa yang percaya, Gunung Kawi dianggap keramat karena terdapat makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan Radeng Mas Imam Sujono, pengikut Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri dan menybebarkan ajaran-ajaran spiritual di Gunung Kawi. Berziarah ke makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria dan raden Mas Imam Sujono yang terletak di Gunung Kawi ini, dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan.

Pelita Harapan; Pak Paidi warga asli Gunung Kawi yang juga penjaga tempat-tempat wisata ziarah di Gunung Kawi mempersiapkan lilin-lilin yang berada di Kuil Kwan Im. Lilin-lilin tersebut milik orang-orang yang rutin datang ke Gunung Kawi untuk bersembayang. Lilin adalah simbol penerangan bagi pesembayang, dengan menyalakan lilin diharapkan pesembayang selalu diterangi jalan hidupnya. Lilin-lilin tersebut harganya mencapai hingga puluhan juta rupiah, tergantung dari ukurannya. Pesembayang percaya semakin besar lilin yang dinyalakan semakin terang jalan hidupnya.

Mengintip Misteri; Yang sangat populer di Gunung Kawi ini adalah giam si yakni meramal dengan menggunakan nomor. Teknisnya, orang yang ingin diramal mengocok sebuah tabung yang yang berisi beberapa batang kayu yang telah diberi nomor di setiap batangnya sambil memikirkan apa yang ingin diketahui. Orang yang diramal tersebut mengocok hingga jatuh satu batang kayu. Nomor batang kayu yang jatuh itu lah yang menjadi nomor peruntungannya. Arti dari nomor tersebut dapat ditanyakan kepada penjaga ruang giam si.

Meski ramalan ini identik dengan adat Cina, namun di Gunung Kawi penjaga yang membacakan nomor peruntungan  berasal dari warga setempat dan memakai pakaian adat Jawa. Pada saat saya berkunjung ke sana pun, tampak yang mengantri untuk diramal dengan giam si ini tak hanya etnis Cina. Banyak etnis yang bukan Cina ingin juga mencoba membaca nasib melalui giam si.

Menapak Jejak Tanah Perjanjian

Meski tidak diwajibkan seperti pergi haji bagi umat muslim, dapat pergi ke Tanah Perjanjian menjadi impian sebagian umat nasrani di berbagai negara. Tanah Perjanjian merupakan daerah-daerah yang tertulis dalam Kitab Suci umat nasrani. Pada bulan Januari 2011 lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu rombongan tour wisata rohani ke Tanah Perjanjian dari Greja Bethani Surabaya. Rute yang akan kami lalui adalah dari Jakarta (Indonesia) ke Kairo (Mesir), Gunung Sinai (Mesir), Yerusalem, Yerikho, Nazaret (Israel), Betlehem (Palestina). Tempat-tempat yang kami kunjungi memang daerah-daerah yang tertulis di Alkitab. Terlepas dari berbagai kontroversi tentang negara yang saya kunjungi, saya tidak peduli. Ada banyak hal bisa kita nikmati dari pada sekedar mencurigai.
Nyalakan Lilin sebelum Gelap; Judul tersebut saya berikan karena hari pertama saya di Mesir, tepatnya di ibu kota Kairo, saya jalan-jalan ke perkampungan nasrani. Di sana ada banyak greja-greja yang menurut saya bangunannya tak beda jauh dengan masjid hanya saja ujungnya diberi simbol salib. Sore harinya, saya sudah bertolak dari Kairo dan besoknya saya melihat berita kerusuhan parah terjadi di Kairo.


Memecah Fajar dari Gunung Sinai; Dengan Tinggi 2.285 meter, Gunung Sinai berada di barisan pegunungan di sebelah selatan Semenanjung Sinai (Mesir). Gunung Sinai merupakan tempat tujuan para wisatawan rohani dari berbagai dunia karena oleh umat nasrani, tempat ini dipercaya sebagai tempat Musa menerima sepuluh perintah Allah. Untuk mencapai puncak Gunung Sinai, saya harus mendakinya. Onta hanya bisa membawa saya dari parkiran kendaraan sampai kaki gunung. Pada saat itu, bulan Januari, masih musim dingin, mungkin bisa dikatan suhu mencapai minus derajat karena beberapa bagian Gunung Sinai memutih tertutup es.


Syalom, Yerusalem!; Inilah kota Yerusalem, kota suci bagi umat Kristen, Islam, dan Yahudi karena terdapat tempat-tempat bersejarah bagi perjalanan agama-agama tersebut. Melihat kecantikan kota tersebut, saya tak heran jika kota Yerusallem diperebutkan oleh banyak pihak. Bahkan hampir semua negara tidak mengakui kota tersebut adalah ibu kota Israel.


Kubah Shakhrah; Salah satu tempat suci yang ada di Yerusaleem adalah Kubah Shakhrah. Nama lainnya adalah Kubah Batu, terletak di Kota Lama Yerusalem (Sebelah Timur). Di dalam kubah ini terdapat batu Ash-Shakhrah yang menjadi tempat paling suci bagi umat Yahudi. Kubah Shakhrah bukanlah sebuah masjid, sebaliknya, merupakan sebuah kompleks yang terdapatnya sebuah batu besar yang dikatakan tempat Nabi Muhammad berdiri ketika peristiwa Isra dan Mi’raj. Qubbat As-Sakhrah terletak di Baitulmuqaddis di kawasan Al-Haram asy-Syarif. Qubbat As-Sakhrah bukanlah Masjid Al-Aqsa karena Masjid Al-Aqsa terletak tidak jauh daripada bangunan ini.
Kubah ini terletak di kawasan muslim, hanya orang muslim yang boleh memasuki areal tersebut. Saya pun mencoba masuk, untuk meyakinkan saya memakai plasmina sebagai jilbab. Di depan gerbang telah ada petugas berwajah Arab dengan sorban di atas kepala dan pistol panjang.
“Hey, where are you come from? Are you Moslem?” tanyanya mencegatku, orang asing yang akan masuk.
“Indonesia. Yes, I’m Moslem!” kataku sambil menunjukkan passport dan membetulkan jilbab ‘dadakan’. Dia masih bengong melihat pasportku dan penampilanku, jaket kulit, celana jeans, sepatu kets, dan jilbab. Kukeluarkan KTP-Indonesiaku.
“This is my country ID card. Here you are, my religion: Islam. It means Moslem,” kataku sambil menunjuk tulisan agama di KTP.
“But your dress not like Moslem’s women,” katanya lagi.
“Oh It’s okay wear like this in my country. I’m sorry, but I want to pray to Allah and see what a great He made,” kukeluarkan gombal-gombal sedikit untuk merajuknya.
“Can you tell me alfateha?”
Kubacakan surat alfateha, dengan gaya dicengkok-cengkokan supaya tampak lebih meyakinkan. Saya hafal betul dengan surat tersebut, tapi dengan kondisi dipelototin serdadu bersenapan gini, saya jadi sering-sering lupa. “Okay! You can go. Wear this!” katanya setelah yakin bahwa saya Islam. Dia juga meminjamkan bawahan rok panjang untuk saya gunakan selama memasuki areal muslim tersebut. Saya baru sadar kalau yang dimaksud “tidak berpakaian seperti perempuan muslim” itu karena saya pakai celana (bukan rok).


Bapa Kami Lintas Bahasa; Kapel Bapa Kami dibuat karena dipercaya di tempat tersebutlah diturunkannya doa Bapa Kami, yang merupakan pedoman doa bagi umat nasrani. Dalam kapel tersebut dapat berbagai tulisan Doa Bapa Kami dalam berbagai bahasa di seluruh dunia, bahkan hingga bahasa sukubangsa di Indonesia, seperti Jawa, Papua, Palembang, Toraja. Mungkin ini menunjukkan bahwa Dia selalu mengerti bahasa kita dan apa yang kita sampaikan dengan cara yang kita ketahui masing-masing.


Meratap Pada Shekhinah; Malam terakhir di Yerusallem, saya menyempatkan ke Tembok Ratapan. Tempat yang sangat sacral bagi umat Yahudi. Ini adalah sisa dinding Bait Suci di Yerusalem yang dibangun oleh Raja Salomo (Sulaiman), putra Daud. Bait Suci itu hancur ketika Israel diserbu tentara Romawi pada tahun 70 Masehi. Panjang tembok ini aslinya sekitar 485 meter, dan sekarang sisanya hanyalah 60 meter. Orang Yahudi percaya bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam “Shekhinah” (kehadiran ilahi). Berdoa di situ dianggap sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan. Tembok ini dulunya dikenal hanya sebagai Tembok Barat, tetapi kini disebut “Tembok Ratapan” karena di situ orang Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka dengan penuh penyesalan. Selain mengucapkan doa-doa mereka, orang Yahudi juga meletakkan doa mereka yang ditulis pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding itu. Dinding ini di bagi dua bagian, untuk laki-laki dan perempuan. Dalam kepercayaan Yahudi, laki-laki dan perempuan tidak boleh berdampingan ketika berdoa. Tembok ini diperlakukan sangat suci sehingga, orang Yahudi tidak mau membelakangi tembok tersebut. Ketika mereka telah selesai berdoa, mereka jalan mudur sampai batas keluar supaya tidak membelakangi tembok tersebut.


Prepare for Reborn; Salah satu ritual yang ingin dilakukan para wisatawan rohani ketika melancong ke Tanah Perjanjian adalah dibaptis di Sungai Yordan. Baptisan dikenal sebagai ritual inisiasi Kristen yang melambangkan pembersihan dosa dengan menyelupkan seluruh tubuh ke dalam air. Sungai Yordan dipercaya oleh umat nasrani sebagai sungai yang membaptis Yesus. Sungai itu terletak di batasan antara Israel dan Yordania.

Sapi Sonok Madura

Sebagai daerah agraris, sapi merupakan hewan yang sangat erat dengan kultur kebudayaan Madura. Selain terdapat Karapan Sapi yang telah cukup terkenal, di Madura juga terdapat kontes kecantikan Sapi yang dikenal dengan nama Sapi Sonok. Pada bulan Oktober 2010, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Madura dan menyaksikan kontes Sapi Sonok. Dalam bahasa Madura, ‘sonok’ berasal dari kata ‘sronok’ memiliki arti menerobos (masuk), sehingga dalam tradisinya kegiatan ini mulanya bertujuan untuk menyambut kedatangan tamu. Pada saat ini, Sapi Sonok menjadi festival untuk merayakan musim panen.


Lenggangan Si Betina Madura; Salah satu penilaian dalam kontes ini adalah ‘cantik’, sehingga sapi-sapi yang ikut ini adalah sapi betina. Sapi-sapi tersebut dihias dengan beraneka perhiasan yang sesuai dengan gaya asal usulnya, seperti Pamekasan, Sumenep, dsb. Setelah tampak cantik, sapi-sapi tersebut berjalan mengikuti irama pemusik saronen dan joki di ‘catwalk’-nya.

 


Dua Bidadari; Bak pragawati, sapi-sapi yang telah berdandan pun tampak menarik dan mengundang decak kagum yang memandangnya. Kepala sapi bermahkota. Tandukpun diberi selongsong hiasan emas.Aneka hiasan tampak pula dipasang melilit leher hingga kaki sapi.

 


Point of Interest; Meskipun telah berlangsung berkali-kali, kontes Sapi Sonok selalu dinanti dan didatangi oleh banyak orang. Mereka yang tertarik menikmati kemeriahan Sapi Sonok ini bukan hanya yang berasal dari Pulau Madura saja tetapi juga hingga dari luar Pulau Madura, bahkan luar negeri.


Siap ‘Nylonok’; Musik telah ditabuh. Sapi telah melenggak-lenggok. Saatnya sang sapi unjuk kecantikan menyapa ratusan pasang mata yang menantikan aksinya dan menarik perhatian para juri. Penilaian Sapi Sonok ini berdasarkan ketepatan waktu sapi dalam berjalan, tidak boleh kurang atau pun lebih. Penilaian terbaik akan diberikan untuk sepasang sapi yang berjalan lurus dan mengikuti irama musik dalam lintasan sepanjang dua puluh lima meter.


Belum Lengkap Tanpa Sawer; Meskipun tidak masuk dalam kriteria penilaian, joki dan musik pengiring sapi pun tak mau ketinggalan dalam unjuk kebolehan. Mereka pun turut menari dan berlenggak-lenggok tak kalah heboh dengan sapi yang diiringinya. Penonton yang menikmati kelincahan mereka pun mengapresiasi dengan memberikan uang sawer.