Belajar Memanjakan Mama Papa Muda dari Singapura

Susah foto sama dua bayi dan ini foto terbaik yang kita punya 🙂

Setelah hampir dua tahun memperketat pintu masuk karena pandemi, awal tahun 2022 ini, Singapura kembali melonggarkan aturan bagi warga luar yang ingin mengunjungi negara singa tersebut. Kebijakan ini tentu saja membuat pariwisata di negara tersebut kembali bergeliat. Terbukti, setelah bisa ke Singapura dengan los-losan lagi, instastory teman-teman saya langsung banyak sekali yang sedang belanja di Orchard Road, makan es potong atau chicken rice, juga judi di Casino nya MBS. Rupanya kejenuhan semua orang di berbagai dunia untuk piknik sudah memuncak dan tak terbendung lagi. Hingga konon katanya harga-harga tiket transportasi dan akomodasi naik berkali lipat dari sebelum pandemi. Wes embuh piye carane kudu piknik. Begitu pula dengan saya, yang kini seorang ibu dengan dua bayi, nekat traveling ke Singapura dengan membawa Gya (1,5 tahun) dan Gema (2 bulan).

Saya kira harga tiket pesawat dari Juanda ke Changi sudah bersahabat mengingat serangkaian liburan sekolah sudah usai. Ternyata tidak, tiket maskapai low-budget yang saya tumpangi, saat itu dijual seharga Singapore Airlines. Padahal saya membelinya juga dari jauh-jauh hari. Untungnya, Gya dan Gema masih di bawah dua tahun jadi belum terkena biaya tiket. Memang sih, salah satu alasan saya membawa mereka pergi sekarang juga karena masih gratis. Dua hari sebelum berangkat, saya perlu mengisi beberapa form sebagai persyaratan masuk Singapura. Kalau sebelum pandemi, kita dulu mengisi kartu kedatangan yang diberikan oleh crew maskapai. Nah, sekarang kita harus mengisinya secara online sekaligus mengunggah sertifikat vaksin internasional kita. Sertifikat vaksin internasional ini bisa kita peroleh di aplikasi peduli lindungi. Meski tidak perlu, dokumen form imigrasi dan sertifikat vaksin internasional itu saya cetak untuk jaga-jaga. Maklum bawa bayi jadi perlu antisipasi untuk meminimalisir keribetan yang ada. Setelah semua persyaratan itu beres, kita bisa dengan mudah masuk Singapura. Tidak perlu lagi tiap kali memindai barcode vaksin tiap masuk gedung atau mall.

Sebelumnya saya berpikir akan sangat melelahkan membawa anak-anak ke Singapura, perlu tenaga ekstra. Ternyata sama sekali tidak. Begitu mendarat di Changi, Gya langsung minta naik di trolley yang ada tempat duduk untuk anak-anaknya, fasilitas bandara yang diletakkan hampir di setiap sudut pintu garbarata. Semua eskalator di Changi berfungsi maksimal sehingga sejauh apapun pintu tempat keluar, tak perlu terlalu lelah berjalan. Yang paling penting adalah selalu ada lift yang letaknya tak jauh dari tangga sehingga penumpang yang menggunakan kursi roda atau membawa anak-anak dengan kereta bisa dengan mudah mengakses.

Begitulah Singapura, hampir semua tempat umum terutama yang dipromosikan sebagai tempat wisata selalu ramah untuk dijangkau oleh kelompok rentan seperti disabilitas dan anak-anak. Saya sudah berkali-kali ke Singapura, baik untuk liburan maupun bekerja, tapi baru sekarang ketika pergi dengan balita menyadari kenapa kelas menengah atas Indonesia gemar sekali membawa keluarga berlibur sekaligus belanja ke Singapura. Menyusuri pertokoan di Orchard Road dengan membawa stroller jauh lebih mudah dan tidak melelahkan dari pada di Tunjungan Plaza. Bayangkan saja di TP 6 yang katanya tempat nge-mall-nya para crazy rich Jatim itu untuk mengakses lift harus ke sisi yang berlawanan dari eskalator. Hanya ada dua lift dan setiap kali selalu penuh dan orang-orang yang di dalamnya seperti cuek-cuek saja padahal sudah ada tulisan “diprioritaskan untuk wanita hamil, penyandang disabilitas dengan kursi roda, dan kereta bayi”. Ayah Bunda yang membawa balita dengan kereta bayi biasanya terpaksa ngalah dengan salah satu menggendong bayinya, satu nya mengangkut kereta untuk naik turun eskalator. Beberapa malah nekat menggunakan kereta dengan anaknya masih di dalam menyusuri eskalator, yang mana sebenarnya dilarang karena membahayakan.

Absennya fasilitas yang nyaman untuk keluarga ini yang mungkin membuat kelas menengah Indonesia lebih merasa “mending ke Singapura aja deh” untuk liburan atau belanja.

“Mending ke Singapura sekalian deh bisa ajak Engkong check up.”

Selain kemudahan akses untuk membawa anak-anak, saya juga dibuat takjub dengan fasilitas ruang laktasi (menyusui) yang hampir berada di tiap sudut tempat umum. Saya termasuk bunda-bunda yang mengesampingkan malu untuk menyusui di mana saja babah lomoh. Alasan utamanya ya karena kebanyakan ruang laktasi di mall jauh dan kadang hanya ada di lantai tertentu. Waktu jalan-jalan ke Singapura kemarin, saya rajin dengan tertib menyusui ruang laktasi yang disediakan karena tidak susah ditemukan, sekalian ngadem, dan tempatnya memang dibuat senyaman itu.

Memang pintar Singapura ini memanjakan pasar keluarga, karena pasar keluarga ini pasar yang paling banyak menghabiskan uang saat liburan. Ketika orang pergi dengan membawa anak atau orang lanjut usia, kenyamanan menjadi yang utama, sehingga mengeluarkan anggaran lebih pun tak jadi soal. Andai mereka yang ingin mengembangkan industri wisata di Indonesia mempertimbangkan hal itu, bukan tidak mungkin kelas menengah kita lebih suka berlibur di dalam negeri.

Jadi Pemain Bola itu Mahal dan sekarang Harus Bersaing dengan Pemain Naturalisasi

Sebagai pecinta sepakbola tanah air, kabar Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2021 tentu menjadi hal yang menggembirakan. Terbayanglah sudah gimana kita-kita yang bisa nonton kehebohan giat sepakbola berskala dunia itu tidak perlu dengan melekan tengah malam atau bangun pagi-pagi buta. Bukan cuma itu, betapa telah berandai-andainya kita membayangkan bahwasanya pemain-pemain liga Eropa sekaliber Greenwood waktu perhelatan Piala Dunia nanti posting instastory makan ketoprak atau jalan-jalan ke Pasar Sukawati naik ojol. Tentu saja, yang paling berbahagia serta penuh semangat menyambut perhelatan ini adalah pemain-pemain sepakbola muda di Indonesia.

Di tahun 2018, PSSI membuat suatu kejutan dengan mewajibkan seluruh klub yang berlaga di Liga 1 membentuk tim muda dari tingkatan U-16, U-18, dan U-20. Tim muda ini kemudian diberi wadah kompetisi yang disebut sebagai Elite Pro Academy. Meski gaungnya tidak semeriah Liga 1, kompetisi ini perlu diapresiasi karena seolah menunjukan kesungguhan PSSI dalam melakukan pembinaan terhadap sepakbola usia dini. Terutama dalam mempersiapkan tim yang akan berlaga di Piala Dunia U-20 tahun 2021 mendatang. Wajar saja jika para pemain muda yang berlaga di Elite Pro Academy berharap besar dengan berasumsi kalau dirinya menunjukkan perfoma yang terbaik pada kompetisi tersebut, sudah barang tentu akan dipanggil untuk mengisi squad Garuda untuk Piala Dunia U-20 di tahun 2021 mendatang. Para pemain bintang Elite Pro seperti Irfan Jauhari mungkin sudah bermimpi bakal satu lapangan dengan Harvey Elliot dan disaksikan oleh pelatih-pelatih dari negara lain.

Namun, mimpi di siang bolong yang ndaki-ndaki itu perlu ditahan dulu agar tidak kecewa karena lagi-lagi manusia boleh berharap dan berupaya, sistem dan penguasa lah yang menentukan. Sebab, ada wacana yang berhembus PSSI sebagai organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia, akan mendatangkan pemain muda dari Brasil yang siap untuk dinaturalisasi. Benar atau tidaknya tentang wacana tersebut hanya Tuhan dan PSSI yang tahu, akan tetapi beberapa klub Liga 1 sudah siap untuk menerima pemain-pemain muda asal negeri Samba ini. Salah seorang pengelola klub yang kedatangan pemain tersebut menyatakan bahwa keberadaan pemain muda Brasil tersebut tujuannya untuk transfer ilmu kepada pemain lokal, yang mana alasan ini sudah sering didengar mulai dari kompetisi masih boleh disponsori perusahaan rokok. 

Benar atau tidak mengenai wacana naturalisasi ini sebenarnya adalah suatu hal yang bagus. Maksud saya, bagus untuk menjatuhkan semangat pemain muda Indonesia yang sedang berupaya membangun karir dan prestasi di sepakbola. Bayangkan saja, pemain-pemain muda kita yang sudah dari usia dini tekun berlatih, mengorbankan waktu dan juga biaya yang tidak sedikit, eh pas ada kesempatan, malah diberikan pada anak dari negara lain.

Meskipun baru setahun ini mengelola sebuah akademi yang bernama Batu Football Academy (BAFA), saya bisa merasakan kesedihan pesepakbola usia dini di Tanah Air atas wacana naturalisasi untuk Piala Dunia U-20 ini. Saya pun rasanya jadi turut patah hati jika benar terjadi, karena saya tahu betul untuk menjadi pemain bola profesional apalagi sampai masuk tim nasional di negeri ini sebenarnya tidaklah murah. Rata-rata mereka yang bercita-cita menjadi pemain bola di negeri ini adalah mereka yang berasal dari keluarga sederhana yang mungkin untuk bercita-cita jadi lurah atau PNS saja takut karena tidak punya kenalan orang dalam. Untuk itu, bermain bola dianggap sebagai jalan ninja menuju kesuksesan. Padahal jika dicermati modal yang perlu disiapkan tidak sedikit, baik itu modal biaya, waktu, dan tekad. Mulai dari biaya sekolah sepakbola, peralatan latihan, berdisiplin untuk menjaga pola makan yang bergizi, sampai merelakan hari libur sekolah untuk berlatih bola. Itu semua dilakukan sejak usia paling tidak sembilan tahun.

Sebagai tuan rumah, memang sah-sah saja jika PSSI ingin tim nasionalnya tampil semaksimal mungkin. Semua pecinta sepakbola di Indonesia pasti juga sangat berharap tim nasional kita tidak hanya menjadi tim pelengkap atau bahkan jadi bulan-bulanan tim nasional negara lain, tapi, masa iya satu-satunya jalan cuma dengan naturalisasi? Terus, apa dengan naturalisasi sudah pasti tim garuda muda kita akan tampil menawan di Piala Dunia? Pastinya, dengan isu naturalisasi ini jangan sampai pemain muda kita jadi patah semangat lalu banting setir dengan libuk sibuk bikin konten youtube, terima endorse, dan jadi host my trip my adventure.

Sudah Waktunya Malang Raya Menjadi Sport Tourism Area, Mulai Dari Kota Wisata Batu ya…

Minggu yang masih cerah di Stadion Brantas, Kota Wisata Batu, tepatnya tanggal 1 Maret 2020, saya dan penggiat sepakbola Kota Batu resmi meluncurkan Batu Football Academy (BAFA) yang disaksikan oleh askot PSSI Kota Batu dan KONI Kota Batu. Sebenarnya saya bukanlah orang pertama yang menggagas BAFA, malah bisa dibilang saya orang terakhir yang gabung dalam pembentukan akademi sepakbola di Kota Batu ini. Jadi ceritanya, teman-teman penggiat sepakbola kota Batu yang dimotori Mas Arif Suyono dan Mas Achmad Bustomi, pemain timnas jebolan Persikoba Batu itu, cerita kalau mereka ingin sepak bola Batu bisa melahirkan bibit-bibit baru untuk dunia sepakbola nasional. Mereka ingin membentuk sebuah akademi yang dikelola secara profesional, namun dengan asas gotong royong, dimana biayanya cukup terjangkau (karena ternyata usut punya usut akademi sepakbola sekarang mayan mahal, gaes). Tentu saja, saya yang memang punya passion serupa dan kebetulan sesuai dengan bidang yang pernah saya pelajari tertarik dan tanpa pikir panjang langsung mengiyakan ketika mereka meminta saya bergabung untuk menjadi nahkoda di BAFA.

Sudah cukup lama, sejak saya kembali dari Liverpool, ingin mengutak-atik olahraga khususnya sepakbola di Malang Raya, utamanya Kota Batu. Pernah saya menyampaikan ide saya untuk me-swasta-kan salah satu klub liga 3 di Malang Raya tapi ditolak oleh Papa saya, “buang-buang duit! Makan ati aja kamu ngurusin sepakbola di Indonesia, ilmumu ga akan kepake,” katanya. Ada benarnya juga, karena papa saya merasakan di era sepakbola masih pada masa transisi dari yang dulunya boleh didukung penuh oleh pemerintah ke murni industri. Pun, beliau mungkin juga belum pernah melihat dan merasakan langsung bagaimana acara-acara olahraga bisa berdampak signifikan dalam pendapatan ekonomi khususnya di sektor pariwisata.

Belakangan ini di Indonesia, pariwisata menjadi sesuatu yang terus digenjot, sehingga dibangunlah berbagai macam fasilitas, infrastruktur, dan berbagai macam tempat instagramable yang bisa dijadikan jujukan tempat wisata. Malang Raya adalah salah satu aset pariwisata di Indonesia dengan berbagai keindahan alamnya. Namun, jika paradigma pariwisata ini hanya terbatas dengan membangun sesuatu yang baru secara fisik agar wisatawan tertarik untuk datang, maka sudah bisa ditebak kan dampak lainnya selain peningkatan ekonomi? Nah, akhirnya saya pribadi menyimpulkan, sepertinya perlu nih pariwisata di Malang Raya dibuat lebih fokus, lebih berkarakter, dan sampailah saya pada justifikasi personal yang minim riset bahwa sepertinya konsep sport tourism cocok nih diterapkan di Malang Raya.

Meski minim riset, saya punya beberapa argumen. Yang pertama, ada beberapa spot olahraga yang nggak semua tempat punya seperti, paralayang, downhill track, surfing. Yang kedua, Sepakbola sebagai olahraga sejuta umat di dunia dan di Malang Raya punya klub besar dengan pendukung fanatiknya yang selalu menyatakan diri “bondo duit”. Yang terakhir, Batu sudah menjadi langganan sebagai tempat pemusatan latihan untuk berbagai cabang olahraga termasuk sepakbola. Mulai dari klub-klub papan atas Jawa Timur, luar Jawa, hingga tim nasional. Pokoknya yang mau pertandingan di luar negeri harus TC dulu di Batu. Dengan berbagai macam modal dasar tersebut, bayangkan jika Malang Raya benar-benar membranding diri sebagai kawasan Sport Tourism Area. Mungkin saya terlalu bermimpi, tapi bisa jadi bukan hanya tim-tim sepakbola Indonesia yang melakukan pemusatan latihan.

“Makanya Mbak, bikin stadionnya yang bagus dong. Sport center yang lengkap. Blablabla” NO! Pembangunan manusia jauh lebih penting dari pembangunan materi.

Di sini lah, alasan kenapa saya mengapresiasi dan bersemangat mendirikan Batu Football Academy (BAFA). Sebagian orang mungkin melihat, “ngelatih anak-anak gitu doang paling ngapain sih kompetisi profesionalnya juga gada.” Tapi saya melihat, dengan adanya BAFA yang dikelola secara profesional dan melahirkan bibit pemain-pemain sepakbola berkualitas, Malang Raya jadi lebih terbranding sebagai kawasan yang sporty banget. Sehingga akan lebih banyak klub-klub papan atas dan mungkin dari luar negeri yang melakukan pemusatan latihan di Kota Batu karena selain alamnya yang mendukung juga ada tim yang bisa diajak untuk berlatih tanding.

Tentu saja, ini masih sangat awal dan perjalan BAFA baru saja dimulai. Saya mewakili tim BAFA mengucapkan terimakasih kepada para orang tua yang sudah mempercayakan anaknya dididik menjadi pemain sepakbola berkarakter di BAFA. Mimpi besar ini tentu tidak bisa diwujdukan sendiri oleh BAFA, mari bekerja sama!

 

 

 

Maaf kan kami yang terlahir sebagai Anak dengan Privilege

Baru-baru ini istilah Anak dengan Privilege sedang ramai jadi perbincangan. Mungkin, paska Presiden Jokowi mengumumkan tentang staff milenialnya, mungkin lho ya. Di sini, saya tidak ingin membantah komentar yang mengatakan, “pantesan aja masih umur segitu bisa jadi CEO, lha wong bapaknya yang punya itu kok.” Endak. Wajar lah ketika banyak orang berpendapat demikian dan memang sedikit banyak, banyak benernya.

Maaf-maaf saja nih, mereka yang disebut sebagai anak dengan privilege (yang mungkin saya termasuk bagian dari mereka itu) tentu tidak pernah merasakan sebelum berangkat sekolah harus nandon banyu supaya bisa mandi, berangkat lebih pagi supaya dapat angkot, pulang sekolah ndak harus bantu-bantu bersihin rumah atau pun mbeteti lele. Tugas seorang anak dengan privilege cuma duduk manis di sekolah, kalau dirasa kurang cepat nangkap pelajaran ya panggil guru les. Kalau perlu pulang sekolah diisi dengan les-les yang menambah skill.

Makanya, sangat wajar ketika mereka bisa meraih kesuksesan dengan mudah dan di usia yang masih terbilang cukup muda. Dan netizen ramai-ramai berhak berkomentar, “emang udah sukses dari orang tuanya.” Sebaliknya, kalau mereka selow-selow aja dan minim prestasi, kompak netizen berhak berkomentar, “duh, kok nggak hebat kayak orang tuanya sih.” Pokoknya, wajib hukumnya dinyinyirin sejak dalam pikiran.

Kalau kamu bingung mau kerja di mana, setelah lulus semua jenjang pendidikan, anak dengan privilege bingung mau buka usaha sendiri atau meneruskan usaha orang tua. Duh galau banget deh. Hanya satu kendala yang harus dihadapi oleh semua anak dengan privilege di seluruh dunia.

Cinta?

Restu orang tua?

Bukan!

Diri sendiri.

Ya bayangkan saja, kamu kamu yang sekarang working nine to five demi segala macam cicilan dan produk skin care, apa masih bakal produktif berkarya jika tiba-tiba semua fasilitas sudah terpenuhi? Banyak anak dengan privilege yang bisa memanfaatkan segala koneksi dan fasilitas untuk berinovasi. Tapi bisa jadi lebih banyak lagi yang tidak mampu mengolah tanggung jawab besar tersebut dan justru terbebani. Sederhananya, Tony Stark nggak mungkin tiba-tiba bisa jadi Iron Man hanya dengan modal warisan Stark Industries dari bapaknya. Dia harus punya visi untuk menyelamatkan dunia, rajin belajar fisika, bela diri dan mau kerjasama dengan yang lain.

So, untuk anak-anak dengan privilege, saya ucapakan selamat berjuang melawan diri sendiri dan jangan patah semangat jika pencapai-pencapaianmu selalu dikaitkan dengan usaha bapakmu.

Demi #MalangAnyar, Saya Rela Deh Rabi Keri!

 

“Nis, aku punya kakak PNS honorer di mBatu. Bisa nggak kamu bilang ke Papamu…”

Bukan sekali dua kali kalimat semacam itu mampir di telinga saya. Kalimat-kalimat yang membuat saya ingin nyelem ke dasar samudra. Sejak Papa terpilih sebagai walikota Batu tahun 2007 lalu, hidup saya sebagai remaja slengekan pun sedikit berubah. Mungkin beberapa dari kalian membayangkan kalau jadi anak pejabat itu menyenangkan: banyak duit, kemana-mana dikawal ajudan ganteng, banyak follower di sosmed, sering jadi bahan gossip, punya pacar seleb. Apa lagi? Enggak semua bayangan tentang enaknya jadi anak pejabat itu bener, walaupun ada yang nggak salah sih. Yang pasti, kadang saya suka iri sama temen-temen saya yang lain.

Hidup memang wang sinawang, rumput futsalan tetangga selalu nampak lebih hijau dari pada rumput sendiri. Yang saya rasakan, jadi anak walikota itu membuat hak saya sebagai anak berkurang. Ini karena waktu papa saya direnggut oleh publik, waktu beliau sebagai ayah berkurang karena harus melayani masyarakat. Saya ingat ketika masih kuliah di Jogja. Empat tahun kuliah, Papa paling hanya berkunjung tiga kali: hari pertama masuk, waktu saya pentas wayang, dan waktu wisuda. Belum lagi berbagai kepentingan politik dan bisnis disekitarnya, karena bagaimana pun di Indonesia, walikota adalah jabatan politik. Padahal saya tidak tertarik dengan urusan politik.

Nampaknya belum cukup bagi politik mengambil Papa saya. Eh sekarang Mama saya ikutan berpolitik dengan maju di Pilkada Kabupaten Malang. Kalau nanti Mama saya menang, maka hak saya sebagai anak akan semakin berkurang lagi. Bayangkan, sudah kehilangan waktu Papa, kemudian Mama? Bukankah sebuah penderitaan seorang anak yang berlipat ganda? Lha, kan sekarang udah gede. Dua lima, katanya. Etapi, belum nikah-nikah sih ya hihihi. Masih untung waktu ramai-ramainya pencalonan kemarin, pacar saya (punya tho?) menolak ketika dilamar untuk maju Pilkada. Kalau nggak kan kelar hidup saya, di mana-mana politik. Hih!

thumb_IMG_6393_1024 2
Raras, adik saya, yang nggak mau ditinggal Mama kampanye

 

Bagaimana pun ketika pulang ke rumah, sebagai seorang anak saya selalu ingin punya waktu manja di pelukan Papa dan Mama. Jujur saya sering kecewa, karena ketika pulang ke Malang, saya tidak mempunyai waktu yang cukup dengan Papa dan Mama dikarenakan kesibukan-kesibukan mereka. Saya sering cemburu dengan teman-teman saya yang selalu punya kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga dengan hangat. Rasanya ingin kembali menjadi anak kecil di mana dulu papa dan mama selalu punya waktu buat saya.

Lima tahun lebih Papa memimpin Kota Batu. Dari situ, saya jadi paham, kalau jadi pemimpin itu nggak gampang dan selalu serba salah. Banyak keputusan-keputusan dilematis yang perlu diambil, ya nggak sedilematis enaknya balikan sama mantan apa nggak sih, tapi pastinya menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan kemauan orang banyak itu selalu bermacam-macam, yang satu pinginnya begini yang satu pinginnya begitu. Selama kuliah di Jogja, saya juga banyak bergaul dengan para aktivis dan seniman yang gemar nyinyir di sosial media, apalagi kepada penyelenggara pemerintahan macam papa saya.

Pernah pada suatu kasus, banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) mengkritik Papa saya sebagai walikota Batu karena tidak memenuhi janjinya membikin monumen Munir, pahlawan pejuang HAM, yang memang lahir dan besar di Batu, meskipun banyak masyarakat Batu sendiri yang tidak mengerti siapa Munir itu. Capek juga melihat kritikan-kritikan itu bersliweran di sosial media, bagaimana pun Eddy Rumpoko adalah Papa saya. Kemudian saya tanyakan kepada Papa perihal tersebut, ternyata janji itu dikeluarkan oleh walikota sebelumnya, dan ketika Papa menjabat dan bertemu dengan keluarga almarhum Munir, ternyata mereka tidak setuju dengan monumen tersebut. Huft!

Setelah gegap-gempita kemenangan Jokowi, saya menjadi sadar bahwa masyarakat kita perlu satu kartu lagi selain kartu-kartu ala Jokowi yang sudah dikeluarkan, yaitu “Kartu Indonesia Sabar” untuk menanggulangi harapan yang begitu besar akan perubahan yang lebih baik. Di Indonesia, masalah yang dihadapi seorang pemimpin terlalu kompleks, terlalu banyak hal yang harus dibenahi di tengah kepentingan-kepentingan politik di sekitarnya yang selalu mengganggu, belum lagi mental birokrat di bawahnya yang selama ini banyak yang terbiasa makan gaji buta.

Beberapa tahun lalu ketika Papa saya berusaha mewujudkan impian kota Batu sebagai destinasi wisata unggulan di Jawa Timur, tentu juga menghadapi kendala yang sama. Ide-idenya belum tentu dipahami anak buahnya, kecepatan kerjanya ala pebisnis itu tidak bisa diikuti pejabat birokrasi di bawahnya, dan sudah pasti banyak juga orang yang nyinyir akan cita-cita itu. Memang butuh waktu hingga akhirnya bisa membuktikan impian bahwa pariwisata bisa menjadi ikon penggerak ekonomi unggulan bagi masyarakat di Batu. Di saat bersamaan butuh keteguhan bahwa kemajuan pariwisata tidak membuat pertanian ditinggalkan.

thumb_IMG_5331_1024
Salam Dua Jari!

Sekarang (lagi-lagi sayangnya) mama saya, Dewanti Rumpoko, maju di Pilkada Kabupaten Malang. Jujur saya sebelumnya tidak begitu kenal dan paham seperti apa Kabupaten Malang itu. Saya hanya pernah bersinggungan dengan masyarakat Kabupaten Malang ketika bergabung dengan teman-teman relawan Jogja untuk membantu pengungsi bencana erupsi Kelud, 2014 lalu. Waktu itu saya memohon kepada teman-teman dari Jogja untuk membantu mengurusi pengungsi dari Kabupaten Malang yang lari ke Batu, yang notabene bukan daerah terdampak langsung akan bencana tersebut. Juga menyisir beberapa daerah di Kabupaten Malang untuk nge-drop bantuan.

Di tengah bencana, teman-teman saya dari Jogja punya pertanyaan menggelitik, “Memang Pemerintah Kabupaten Malang tidak ngurusi para pengungsi, kok pada lari ke Batu?”

Ketika Kelud meletus, Papa sebagai walikota Batu sedang berada di Medan, dan harus menempuh perjalanan darat beberapa hari karena abu vulkanik tidak memungkinkan pesawat terbang. Dibantu teman-teman relawan dari Jogja, Mama dan saya dengan segala keterbatasan bekerja sekuat tenaga untuk mencoba memastikan para pengungsi, yang notabene dari Kabupaten Malang itu, mendapat pelayanan yang semestinya di kota Batu.

thumb_L1020399_1024
Dari gunung ke pantai: kami siap jadi arek kabupaten

Atas nama kemaslahatan dan perubahan “Malang Anyar” yang lebih baik, pada akhirnya saya harus ikhlas mama maju di Pilkada Kabupaten Malang. Semoga dengan jiwa keibuannya yang selama ini begitu nyaman dan hangat saya nikmati, bisa melayani dan ngemong masyarakat, seperti jiwa keibuan yang beliau tunjukan ketika melayani para pengungsi Kelud waktu itu.

Jabatan hanyalah wakaf politik untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Saya ikhlas deh waktu curhat saya sama Mama berkurang atau bahkan ndak ada sama sekali demi Malang yang benar-benar anyar. Saya ikhlas deh nunda nikah lima tahun lagi karena Papa Mama saya masih repot ngurus ini itu! Prek Nis padune ra ono sing dirabi wae…