Belajar Memanjakan Mama Papa Muda dari Singapura

Susah foto sama dua bayi dan ini foto terbaik yang kita punya 🙂

Setelah hampir dua tahun memperketat pintu masuk karena pandemi, awal tahun 2022 ini, Singapura kembali melonggarkan aturan bagi warga luar yang ingin mengunjungi negara singa tersebut. Kebijakan ini tentu saja membuat pariwisata di negara tersebut kembali bergeliat. Terbukti, setelah bisa ke Singapura dengan los-losan lagi, instastory teman-teman saya langsung banyak sekali yang sedang belanja di Orchard Road, makan es potong atau chicken rice, juga judi di Casino nya MBS. Rupanya kejenuhan semua orang di berbagai dunia untuk piknik sudah memuncak dan tak terbendung lagi. Hingga konon katanya harga-harga tiket transportasi dan akomodasi naik berkali lipat dari sebelum pandemi. Wes embuh piye carane kudu piknik. Begitu pula dengan saya, yang kini seorang ibu dengan dua bayi, nekat traveling ke Singapura dengan membawa Gya (1,5 tahun) dan Gema (2 bulan).

Saya kira harga tiket pesawat dari Juanda ke Changi sudah bersahabat mengingat serangkaian liburan sekolah sudah usai. Ternyata tidak, tiket maskapai low-budget yang saya tumpangi, saat itu dijual seharga Singapore Airlines. Padahal saya membelinya juga dari jauh-jauh hari. Untungnya, Gya dan Gema masih di bawah dua tahun jadi belum terkena biaya tiket. Memang sih, salah satu alasan saya membawa mereka pergi sekarang juga karena masih gratis. Dua hari sebelum berangkat, saya perlu mengisi beberapa form sebagai persyaratan masuk Singapura. Kalau sebelum pandemi, kita dulu mengisi kartu kedatangan yang diberikan oleh crew maskapai. Nah, sekarang kita harus mengisinya secara online sekaligus mengunggah sertifikat vaksin internasional kita. Sertifikat vaksin internasional ini bisa kita peroleh di aplikasi peduli lindungi. Meski tidak perlu, dokumen form imigrasi dan sertifikat vaksin internasional itu saya cetak untuk jaga-jaga. Maklum bawa bayi jadi perlu antisipasi untuk meminimalisir keribetan yang ada. Setelah semua persyaratan itu beres, kita bisa dengan mudah masuk Singapura. Tidak perlu lagi tiap kali memindai barcode vaksin tiap masuk gedung atau mall.

Sebelumnya saya berpikir akan sangat melelahkan membawa anak-anak ke Singapura, perlu tenaga ekstra. Ternyata sama sekali tidak. Begitu mendarat di Changi, Gya langsung minta naik di trolley yang ada tempat duduk untuk anak-anaknya, fasilitas bandara yang diletakkan hampir di setiap sudut pintu garbarata. Semua eskalator di Changi berfungsi maksimal sehingga sejauh apapun pintu tempat keluar, tak perlu terlalu lelah berjalan. Yang paling penting adalah selalu ada lift yang letaknya tak jauh dari tangga sehingga penumpang yang menggunakan kursi roda atau membawa anak-anak dengan kereta bisa dengan mudah mengakses.

Begitulah Singapura, hampir semua tempat umum terutama yang dipromosikan sebagai tempat wisata selalu ramah untuk dijangkau oleh kelompok rentan seperti disabilitas dan anak-anak. Saya sudah berkali-kali ke Singapura, baik untuk liburan maupun bekerja, tapi baru sekarang ketika pergi dengan balita menyadari kenapa kelas menengah atas Indonesia gemar sekali membawa keluarga berlibur sekaligus belanja ke Singapura. Menyusuri pertokoan di Orchard Road dengan membawa stroller jauh lebih mudah dan tidak melelahkan dari pada di Tunjungan Plaza. Bayangkan saja di TP 6 yang katanya tempat nge-mall-nya para crazy rich Jatim itu untuk mengakses lift harus ke sisi yang berlawanan dari eskalator. Hanya ada dua lift dan setiap kali selalu penuh dan orang-orang yang di dalamnya seperti cuek-cuek saja padahal sudah ada tulisan “diprioritaskan untuk wanita hamil, penyandang disabilitas dengan kursi roda, dan kereta bayi”. Ayah Bunda yang membawa balita dengan kereta bayi biasanya terpaksa ngalah dengan salah satu menggendong bayinya, satu nya mengangkut kereta untuk naik turun eskalator. Beberapa malah nekat menggunakan kereta dengan anaknya masih di dalam menyusuri eskalator, yang mana sebenarnya dilarang karena membahayakan.

Absennya fasilitas yang nyaman untuk keluarga ini yang mungkin membuat kelas menengah Indonesia lebih merasa “mending ke Singapura aja deh” untuk liburan atau belanja.

“Mending ke Singapura sekalian deh bisa ajak Engkong check up.”

Selain kemudahan akses untuk membawa anak-anak, saya juga dibuat takjub dengan fasilitas ruang laktasi (menyusui) yang hampir berada di tiap sudut tempat umum. Saya termasuk bunda-bunda yang mengesampingkan malu untuk menyusui di mana saja babah lomoh. Alasan utamanya ya karena kebanyakan ruang laktasi di mall jauh dan kadang hanya ada di lantai tertentu. Waktu jalan-jalan ke Singapura kemarin, saya rajin dengan tertib menyusui ruang laktasi yang disediakan karena tidak susah ditemukan, sekalian ngadem, dan tempatnya memang dibuat senyaman itu.

Memang pintar Singapura ini memanjakan pasar keluarga, karena pasar keluarga ini pasar yang paling banyak menghabiskan uang saat liburan. Ketika orang pergi dengan membawa anak atau orang lanjut usia, kenyamanan menjadi yang utama, sehingga mengeluarkan anggaran lebih pun tak jadi soal. Andai mereka yang ingin mengembangkan industri wisata di Indonesia mempertimbangkan hal itu, bukan tidak mungkin kelas menengah kita lebih suka berlibur di dalam negeri.